Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyatakan fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat sehat dan kuat, yang ditunjukkan dari beberapa indikator, antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga penyaluran kredit.
Dengan kekuatan ini, Indonesia mampu bertahan dari guncangan ketidakpastian global, termasuk perkembangan kebijakan Amerika Serikat (AS).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, indikator yang menunjukkan fundamental ekonomi Indonesia sangat sehat dan kuat saat ini. Pertama, katanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,02 persen di kuartal III-2016 dan secara keseluruhan 5,04 persen (Januari-September).
"Kedua, walaupun ada kenaikan harga pada banyak kebutuhan pokok di November, tapi inflasi masih di kisaran 3 persen. Ketiga, neraca pembayaran ekspor dan impor meski belum pulih, tapi defisit transaksi berjalan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun," ujar dia di rumah dinasnya, Komplek Widya Chandra, Jakarta, Jumat (2/12/2016).
Dari datanya, defisit transaksi berjalan Indonesia di kuartal III ini turun menjadi 1,8 persen terhadap PDB dari sebelumnya 2,2 persen dari PDB.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi walaupun terjadi gonjang ganjing di pasar global, total neraca pembayaran Indonesia masih surplus. Kalau surplus, artinya cadangan devisa naik yang saat ini US$ 115,7 miliar," ujar Darmin.
Keempat, lanjutnya, pertumbuhan kredit pada Oktober ini meningkat menjadi lebih dari 7 persen. Sementara bulan-bulan sebelumnya penyaluran kredit bertumbuh 6 persen-6,5 persen.
"Walaupun ada tekanan di pasar internasional, seperti Brexit, terpilihnya Donald Trump Presiden AS, rupiah kita secara year to date menguat. Kalaupun terdepresiasi tidak besar dibanding negara lain. Jadi, dilihat dari semua itu aspek fundamental kita kuat," tegas Darmin.
Dia menuturkan, dengan ketidakpastian ekonomi dan politik dunia, Indonesia tidak banyak terpengaruh oleh gejolak ini. Meskipun sudah terjadi aliran modal keluar dalam bentuk dolar AS, namun relatif kecil sehingga tidak membuat cadangan devisi merosot.
"Saat negara lain sudah pontang panting dengan urusan Donald Trump, Brexit, tapi kita tidak. Kita tidak banyak kena pengaruh, walaupun ada," Darmin menjelaskan.
Ia mengakui, tekanan faktor eksternal seharusnya berdampak besar ke Indonesia karena porsi kepemilikan asing di pasar surat berharga negara (SBN) dan pasar saham Indonesia sangat besar. Berbeda dengan porsi asing di pasar obligasi dan saham di Malaysia.
"Kepemilikan asing di SBN kita jauh lebih banyak yakni 39 persen dibanding Malaysia yang cuma 13-14 persen. Apalagi di pasar saham lebih besar lagi, artinya secara teoritis guncangan itu berdampak lebih besar ke kita, tapi faktanya tidak karena kita punya fundamental yang kuat," ujar Darmin.