Liputan6.com, Wina - Calon presiden sayap kanan Austria, Norbert Hofer, mengakui kekalahannya atas rivalnya yang berasal dari sayap kiri, Alexander Van der Bellen, dalam sebuah pemilu ulang. Hasil pilpres belum dirilis, tapi exit poll yang diumumkan oleh stasiun radio negara, ORF, menunjukkan Van der Bellen meraih 53,6 persen suara.
Sebenarnya, seorang presiden di Austria hanya sebuah simbol. Namun pilpres Austria kali ini dipantau dunia karena menjadi ukuran sentimen anti-kemapanan yang meluas menyusul terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dan peristiwa British Exit (Brexit) pada Juni lalu di mana rakyat Inggris memutuskan hengkang dari Uni Eropa (UE).
Advertisement
"Aku sangat sedih, tapi ini tidak berhasil. Aku akan sangat senang untuk menjaga Austria. Aku mengucapkan selamat kepada Alexander Van der Bellen atas kesuksesannya dan meminta semua rakyat Austria untuk bersatu. Kita seluruhnya rakyat Austria, tak peduli apa pun yang kita putuskan hari ini. Hidup rumah kita, Austria," tulis Hofer di laman Facebook-nya seperti dikutip dari CNN, Senin (5/12/2016).
Tak lama, dalam sebuah konferensi pers yang berlangsung singkat, Hofer mengaku bahwa ia kecewa.
"Aku bukan seorang manusia jika tidak merasa kecewa," kata dia.
Momen haru terjadi kala ia memeluk anak perempuannya yang berurai air mata dan mengatakan setelah ini ia akan "melanjutkan hidup kembali, bersantai bersama istrinya, dan membaca buku The Old Man and The Sea".
"Kebebasan, Kesetaraan, dan Solidaritas"
Berbicara di televisi, Van der Bellen menekankan kemenangannya tak lepas dari "keterlibatan ratusan ribu orang".
"Itulah cara sebuah gerakan besar berkembang. Aku selalu berkampanye untuk Austria yang pro-Eropa. Ini tentang nilai-nilai: kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. Juga terkait dengan hal-hal yang tidak berlangsung dengan baik dalam sistem ekonomi saat ini," ungkap Van der Bellen.
"Aku aktif bicara kepada seluruh pemilih, termasuk dari kalangan partai Hofer. Mereka memiliki keprihatinan yang nyata yang harus ditanggapi serius oleh presiden," katanya.
Kemenangan Signifikan Partai Hijau
Kemenangan Van der Bellen ini menandai perubahan signifikan pada lanskap politik Austria yang didominasi dua partai sejak akhir Perang Dunia II. Pilpres seharusnya telah selesai pada Mei lalu. Namun hasil penghitungan suara saat itu yang memenangkan Van der Bellen digugat oleh Hofer dan partainya.
Dalam pemilu kali ini, marjin Van der Bellen diperkirakan meningkat 10 kali lipat menjadi lebih dari 300.000 suara.
"Ini bukan pemilu ulang, melainkan sebuah pemilu baru. Dunia di sekitar kita telah berubah. Kita sudah menyaksikan referendum Brexit di Inggris dan pemilu yang memenangkan Trump di AS," urai Van der Bellen yang menganggap kemenangannya dipengaruhi oleh perubahan lanskap politik selama 6 bulan terakhir.
Reaksi Uni Eropa
Jika kondisi berbalik, Hofer yang memenangkan pemilu, maka hal tersebut akan menjadi sejarah. Hofer akan menjadikan Austria sebagai negara pertama di Eropa Barat yang dipimpin oleh politikus sayap kanan sejak akhir Perang Dunia II.
Namun dengan fakta yang ada, ia terpaksa menerima kekalahannya. Sementara itu, politikus sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, bersimpati atas kekalahan Hofer. Ia mengucapkan selamat kepada "rekannya" serta Partai Kebebasan karena telah berjuang "dengan berani."
"Pada pemilu legislatif berikutnya mereka akan menang," tulis Le Pen di akun media sosial Twitter.
Sementara itu, komentar juga datang dari Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeir. Ia berkicau di Twitter bahwa seluruh Eropa bernapas lega dengan hasil pemilu Austria.
Presiden Prancis, Francois Hollande, juga telah memberi ucapan selamat kepada Van der Bellen. Ia mengatakan, "Rakyat Austria telah memilih Eropa, dan mereka telah memilih untuk menjadi terbuka."
Martin Schulz, Presiden Parlemen Eropa mencuit bahwa kemenangan Van der Bellen adalah "kekalahan hebat nasionalisme dan anti-Eropa...,"
Gelombang Populis
Van der Bellen (72) dikenal sebagai seorang ekonom. Ia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kamp pengungsi sebelum akhirnya menetap di Austria. Ia dikenal gigih memperjuangkan kebijakan migrasi liberal.
Presiden terpilih Austria itu vokal mendukung pernikahan sesama jenis. Meski telah berusia lanjut, ia memiliki pengagum dari kalangan muda yang mengembangkan tarian raver atas dukungannya.
Sebaliknya, Partai Kebebasan yang mengusung Hofer telah meningkatkan gelombang populis yang "menyapu" Benua Eropa. Ini disebabkan kegagalan UE dalam menangani krisis ekonomi dan isu migran.
Pada akhir pekan setelah memberikan suaranya, Van der Bellen menegaskan pemilu Austria "penting bagi seluruh Eropa".
"Di luar Austria, pemilu dianggap sebagai satu hal yang tidak hanya menyangkut kita sebagai rakyat Austria," kata dia.
Menanggapi kemenangannya yang digugat dalam pemilu Mei lalu, ia mengatakan bahwa Eropa tidak seharusnya mendramatisasi popularitas sayap kanan yang meningkat di Eropa.
Sebelumnya muncul kekhawatiran, Austria akan menjadi negara berikutnya yang menyusul Inggris, "bercerai" dari UE mengingat Hofer adalah pendukung Brexit. Meski belakangan ia dilaporkan sedikit melunak terkait dengan posisi negaranya di UE dengan mengatakan, ia lebih senang tinggal di sebuah serikat desentralisasi yang direformasi.
Advertisement