Liputan6.com, Bandung - Puluhan guru honorer yang merangkap sebagai guru mengaji menggelar unjuk rasa di depan Kantor DPRD Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka terancam tidak menerima dana hibah dari Pemerintah Kota Bandung karena namanya dihapus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) selaku penyalur.
"Ketentuan itu diambil penyalur dengan alasan mereka sebagai guru ngaji telah menerima Bantuan Kesejahteraan Guru yang dikelola oleh Kemenag Kota Bandung," kata Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer (FKGH) Kota Bandung Yanyan Herdiyan di depan Gedung DPRD Kota Bandung, Senin (5/12/2016).
Menurut Yanyan, dalam meningkatkan partisipasi pembangunan bidang keagamaan, Pemerintah Kota Bandung sebelumnya telah menganggarkan bantuan untuk kesejahteraan guru ngaji di Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) melalui pos dana hibah. Per orang diberi dana sebesar Rp 1,2 juta.
"Tapi karena jumlah guru ngaji di lapangan tidak sebanding dengan kuota yang diberikan, yaitu 4.000 orang, maka uang itu dibagi rata dengan rekan sesama guru di lembaganya. Jadi rata-rata mereka hanya menerima Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu," Yanyan menjelaskan.
Baca Juga
Advertisement
Dengan tindakan PGRI mencoret nama-nama guru honorer yang merangkap guru ngaji, kata Yanyan, PGRI telah sewenang-wenang dan arogan. Sebab, para guru ngaji di Kota Bandung tidak diberi tahu terlebih dahulu mengenai keputusan tersebut.
"Kalau menurut kami itu sangat arogan. Menurut Perwal No. 891 tahun 2011, tidak ditemukan pasal yang mengatur larangan seseorang menerima bantuan hibah dari dua NPHD dengan kapasitas dan kontribusi yang berbeda. Guru formal dengan guru ngaji adalah suatu profesi yang berbeda kapasitas," ia memaparkan.
"Dengan demikian kami menuntut agar PGRI dan inspektorat mencabut kebijakan pencoretan nama dan memulihkan hak guru yang dicoret namanya sebagai calon penerima hibah," Ketua FKGH Kota Bandung itu memungkasi.