Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS) bukanlah tolok ukur yang tepat untuk mengukur perekonomian Indonesia. Paling pas, membandingkan rupiah dengan mata uang negara-negara mitra dagang terbesar Indonesia, seperti Jepang, Tiongkok, Eropa, dan negara lainnya.
Jokowi menyoroti kebijakan ekonomi Donald Trump yang lebih bersifat reflasi. Di mana kurs dolar AS akan mencerminkan antisipasi pasar bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan semakin menguat dan inflasi dolar akan melonjak.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi dolar nanti akan jalan sendiri. Itu artinya kurs rupiah-dolar AS semakin tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Karena selama ini selalu melihatnya ke sana terus, padahal bukan cerminan fundamental Indonesia," terangnya di acara Sarasehan 100 Ekonom di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Menurut Jokowi, ekspor Indonesia ke AS sekitar 9 persen-10 persen dari total ekspor. Dengan prosentase ekspor sebesar itu, lanjutnya, persepsi ekonomi Indonesia selalu dikaitkan atau diukur dengan dolar AS.
"Kalau ekonomi kita hanya diukur pakai dolar AS, nantinya kita akan kelihatan jelek. Padahal ekonomi Indonesia oke-oke saja, tidak ada masalah. Kalau kita masih bawa itu, bisa berbahaya," tegas Jokowi.
Dia menilai, jika ekonomi Indonesia diukur dengan mata uang lain yang merupakan mitra dagang utama, seperti Euro, Yuan Renmimbi, Poundsterling, Won, Yen Jepang, maka ekonomi Indonesia lebih bagus. Jokowi menyebut, ekspor Indonesia ke China sekitar 15 persen-15,5 persen dari total ekspor, ke Eropa 11,4 persen, dan ke Jepang 10,7 persen.
"Bertahun-tahun selalu melihatnya rupiah dan dolar. Tapi kurs rupiah-dolar AS bukan tolok ukur yang tepat. Kurs yang relevan melawan rupiah yakni dengan mata uang mitra dagang terbesar kita. Jadi penting mengedukasi ke publik jangan pantau kurs mereka terhadap dolar AS semata, tapi harus ada patokan yang punya komprehensif," tandas Jokowi. (Fik/Gdn)