Komisi I: Akan Ada Perpres dan Permen Pelengkap UU ITE

Anggota Komisi I DPR RI menyebutkan bahwa UU ITE akan dilengkapi Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen).

oleh M Hidayat diperbarui 06 Des 2016, 16:10 WIB
TB Hasanuddin

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun televisi swasta, anggota Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin mengatakan revisi UU ITE yang resmi berlaku Senin (28/11/2016) pekan lalu, akan dilengkapi dengan Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen).

"DPR sudah minta (UU ITE) dilengkapi dengan Perpres. Sesudah ada Perpres, nanti ada Permen," tutur pria yang akrab disapa Kang Tebe itu.

Ia mengungkapkan bahwa revisi UU ITE telah melalui rangkaian tahap yang cukup panjang. Ia pun mengaku DPR RI telah berkonsultasi dengan banyak pihak dari beragam latar belakang untuk meminta masukan terkait UU ITE ini.

"Kami berbicara bukan hanya dengan kelompok masyarakat, dengan LSM, dan lain sebagainya. Kami (juga) berbicara dengan tokoh pendidik, kemudian dengan tokoh agama, dengan tokoh masyarakat dan lain sebagainya," ujar politisi PDI-P tersebut.

Adapun terkait distribusi konten bermuatan pencemaran nama baik yang diatur di Pasal 27 ayat 3 UU ITE, ia menilai bahwa revisi yang dilakukan di pasal tersebut, merupakan jalan terbaik. 

"Menurut ajaran agama, mencemarkan orang, itu aib. Itu kan tidak dibenarkan. Lalu juga menghina orang, juga tidak dibenarkan, sehingga mayoritas (mengatakan), 'Oke, kita cari jalan yang sebaik-baiknya'. Maka itu, diubah pasal-pasalnya, diubah sanksi-sanksinya, dengan catatan, kita berdemokrasi, bebas berekspresi, tapi tidak menabrak rambu-rambu yang ada. Itu adalah etika dan juga ajaran agama," pungkas pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat tersebut. 

Sekadar informasi, berikut ini beberapa poin perubahan revisi UU ITE yang dihimpun Tekno Liputan6.com.

1. Menurunkan ancaman pidana dan denda

Pertama, terkait dengan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik yang diturunkan dari penjara paling lama enam tahun menjadi paling lama empat tahun. Selain itu, denda pun diturunkan dari maksimal Rp 1 miliar menjadi maksimal Rp 750 juta. Hal ini tertuang dalam Pasal 45 ayat 3.

Selanjutnya adalah ancaman pidana terkait pengiriman informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti (dijelaskan dalam Pasal 29 UU ITE) dengan pidana paling lama empat tahun dan denda maksimal Rp 750 juta. Sebelumnya ancaman pidana maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar.

2. Dokumen elektronik sebagai bukti hukum

Salah satu perubahan dalam revisi UU ITE adalah penambahan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 mengenai keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

3. Penambahan ayat baru pada Pasal 40.

Dalam revisi UU ITE yang disahkan 27 Oktober 2016, peran pemerintah diperkuat. Tujuannya adalah memberi perlindungan dari segala gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik. Kewenangan tambahan itu disisipkan dalam Pasal 40.

Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

Selain itu, pemerintah juga berwenang melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap konten yang melanggar hukum.

4. Penambahan ketentuan tentang Hak Untuk Dilupakan

Tambahan ketentuan ini tertuang dalam Pasal 26. Artinya, seseorang boleh mengajukan penghapusan konten atau informasi tak benar tentang dirinya yang dipublikasikan di masa lalu.

Misalnya saja, saat seorang dibuktikan tidak bersalah di pengadilan, ia berhak meminta penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus informasi atau berita yang salah di internet.

Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto, saat ini pemerintah sedang menyiapkan aturan turunan mengenai right to be forgotten ini yang nantinya tertuang dalam sebuah peraturan pemerintah.

(Why/Ysl)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya