Diusir Berulang Kali Demi Anak-Anak Penderita HIV

Puger berulang kali pindah rumah. Dia diusir lantaran mengasuh anak dengan HIV/AIDS. Warga takut tertular virus mematikan dari anak-anak.

oleh Audrey Santoso diperbarui 06 Des 2016, 19:27 WIB
Seorang anak penderita HIV/AIDS menunggu hujan reda (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Jakarta - “Ada anak masih bayi, dia diusir dari kampung. Salahnya apa? Wong dia umur 1,5 tahun, disuruh hidup di dalam hutan sama warga.” Begitulah Puger Mulyono memulai cerita saat Liputan6.com mengunjunginya di kediaman pribadinya di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (24/11/2016). Cerita itu dialami Puger beberapa bulan lalu dan menjadi cerita yang paling membekas selama menemani "anak-anaknya".

 

Puger Mulyono merupakan seorang juru parkir yang mengabdikan hidupnya sebagai bapak asuh untuk anak-anak pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV). Puger sudah hampir 10 tahun membaktikan diri di Yayasan Rumah Lentera Surakarta. Yayasan tersebut didirikan Puger bersama teman-temannya sebagai tempat yang menaungi anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang ditelantarkan keluarga atau diasingkan masyarakat.

Saat ini Puger menjadi bapak buat 11 orang anak. Anak asuh paling tua berusia 15 tahun, sedangkan paling kecil berusia 1,5 tahun. Anak-anak tersebut yatim piatu karena orang tua mereka sudah meninggal akibat diterjang HIV/AIDS. 11 anak ini merupakan sisa dari 17 anak yang sebelumnya diasuh Puger. Lantaran, dua di antaranya sudah menghadap Yang Maha Kuasa. Sisanya, kembali ke rumah kakek-nenek mereka.

Anak-anak asuh Puger Mulyono bermain bersama (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Bersama 11 anak inilah Puger banyak menghabiskan waktu. Setiap harinya, Puger menemani, membimbing dan mendidik mereka di sebuah rumah yang dimiliki Yayasan Rumah Lentera. Kegiatan ini dilakoni sebelum ia berangkat atau pulang kerja sebagai juru parkir di sebuah komplek perkantoran yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah singgah.

Selama kurun satu dasawarsa, Puger sudah mengalami banyak cerita. Susah, senang, suka, hingga duka, sudah dinikmatinya. Kesemuanya sudah dilahap habis lelaki berusia 42 tahun ini. Puger tak pernah kehabisan energi untuk tetap melayani anak-anak tersebut. Bagi Puger, memberi rumah bagi ADHA sama seperti memberi harapan. Ini menjadi langkahnya melawan ketidakadilan. “Saya berusaha mengembalikan kasih sayang yang mereka butuhkan,” ucap Puger.

Puger mengajak anak-anaknya jalan-jalan ke Taman Sriwedari (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Kasih sayang Puger merupakan barang mahal. Sebelumnya, rasa belas kasih ini tak didapat ADHA. Pengusiran, pengasingan, serta caci maki, merupakan bagian keseharian yang harus dirasakan mereka. Tindakan-tindakan diskriminatif tersebut yang membuat Puger Mulyono dan Rumah Lentera tak bisa berdiam diri.

Rina, salah satu kolega Puger di Rumah Lentera sekaligus pengidap HIV/AIDS, mengakui, kasih sayang yang diberikan Puger sangat luar biasa. Ibu seorang anak ini menuturkan, dirinya salut dan kagum atas kesabaran dan kemurahan hati Puger. Terlebih, Puger hanya bermata pencaharian sebagai juru parkir. “Bapak itu orang yang baik,” kata Rina.

Puger di mata Rina, tak sekadar menjadi panutan. Puger juga merupakan pelindung. Sebab, Rina merupakan pengidap HIV/AIDS yang diusir warga di kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah. Rina tertular HIV dari almarhum suaminya sejak 2012. Beruntung, Ilham anak Rina, tak tertular virus dari bapaknya yang notabene pecandu narkoba.


Menguatkan Diri dalam Tekanan

Perlindungan yang diberkan Puger ini membuat Rina kerasan tinggal dan menetap di Rumah Lentera. Selain diterima dan diperlakukan sebagaimana mestinya, Rina juga bisa berbagi kepedulian terhadap anak-anak di rumah tersebut. Lantaran, Rina merupakan seorang ibu yang punya belas kasihan pada anak-anak yang tak pernah tahu apa penyakit mereka itu. “Yang menjadi duka bagi saya adalah melihat anak-anak harus minum obat terus,” ucap Rina.

Belas kasih yang diberikan Puger kepada penderita AIDS, nyatanya tak bisa diterima begitu saja oleh masyarakat di sekitar Rumah Lentera. Mereka balik heran dan malah bersyak wasangka, jika keberadaan rumah singgah ADHA bisa menularkan HIV/AIDS di lingkungan mereka. Kekhawatiran ini menuntun mereka bertindak kasar, yakni dengan mengancam mengusir Puger dan anak-anaknya dari rumah singgah.

Rumah singgah tempat menampung ADHA (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Ancaman seperti ini berulang kali diterima Puger. Terakhir, Puger dan Rumah Lentera hendak diusir warga pada April 2016. Ancaman yang diberikan pun bahkan menyasar anak kandung dan istrinya, seperti yang terjadi di Pasar Kliwon, Solo. Puger dan keluarganya dilarang masuk ke dalam rumah. “Pintu rumah saja dikunci. Gang mau masuk diportal, jalanan dijaga sama warga dan hansipnya. Saya sama anak-anak itu masuk gang kampung saja nggak boleh,” tutur Puger.

Pengusiran itu membuat Puger dan anak-anaknya harus berulang kali pindah. Sampai-sampai, Pemerintah Kota Surakarta harus turun tangan memberikan perhatian. Puger dan anak-anaknya kemudian disediakan rumah. Namun, ketidaktahuan warga dan aparat pemerintahan tentang proses penyebaran HIV/AIDS ini kembali jadi batu sandungan. Jauh-jauh hari sebelum rumah ditempati, warga setempat sudah menolak. Penolakan bahkan dilakukan lurah. Mereka meminta, Puger tak menempati rumah yang disediakan.

Yayasan Rumah Lentera Surakarta (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Perjuangan Puger memberi kasih sayang ini rupanya mengetuk tokoh agama di kawasan Purwosari, Solo. Abu Faqih, salah seorang Kiai di sekitar rumah singgah yang ditempati Rumah Lentera kemudian menjadi orang yang mendukung Puger. Abu Faqih pula yang kemudian pasang badan dan akan memperkarakan secara hukum setiap pihak yang mengganggu Puger dan anak-anaknya. “Di-back up sama Pak Kiai itu mereka takut. Kalau RT/RW tanda tangan saya ditolak tinggal di sini, akan dituntut sekalian pak RT/RW-nya. Untuk lebih pasti dasar hukumnya pak kiai yang paham,” tutur Puger.

Meski kerap diusir, nyatanya semangat Puger tak juga hilang. Puger tak pernah sedih, meratap, bahkan kehabisan energi untuk membagi kasih sayang kepada setiap anak asuhnya. Sebaliknya, energi kasih nyaris redup tatkala harus menghadapi kenyataan, anak asuhnya harus meregang nyawa dan akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa lantaran virus HIV/AIDS. Ini seperti terjadi pada Lisa atau Icha dan Bella, dua anak asuhnya.

Hujan deras mengguyur di depan rumah singgah milik Yayasan Lentera Surakarta (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Puger menceritakan, ditinggal mati anak asuh jauh lebih menyakitkan dibanding harus menghadapi cemohan dan penolakan. Baginya, kematian anak asuhnya terasa sangat membekas. “Kehilangan anak asuh itu sudah jelas paling menyedihkan. Masih terbayang-bayang, rasa kehilangan itu masih terasa,” kata Puger.

Toh, Puger tak membiarkan rasa kehilangan ini membuat dirinya larut. Meski bayangan Bella dan Icha kerap menghampiri, Puger tabah menguatkan diri. Ia tak menghendaki anak-anak lainnya kehilangan semangat hidup. Sehingga, dirinya harus bisa memberi pengertian kepada anak-anaknya. “Saya enggak pernah bilang meninggal. Saya bilang pergi ke rumah neneknya, pulang ke desa.” ungkap Puger.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya