Liputan6.com, Jakarta - Myanmar terus jadi sorotan dunia. Kasus kekerasan terhadap etnis Rohingya yang diduga dilakukan oleh aparat berwenang di negara tersebut jadi pemicunya.
Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak berkomentar sudah cukup Myanmar diam. Ini saatnya bagi mereka untuk menegakkan HAM dan melindungi etnis minoritas muslim tersebut.
Advertisement
Omongan Najib tersebut membuat Myanmar naik pitam. Negara yang dulunya bernama Burma ini mengatakan tak pantas sesama negara ASEAN untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Myanmar menyebut hal tersebut sudah diatur dalam piagam ASEAN yang dalam salah satu pasalnya menyebutkan, negara anggota tidak dapat campur tangan dengan urusan dalam negeri negara lainnya di Asia Tenggara.
Menanggapi hal tersebut Pengamat Hubungan Internasional, Dino Patti Djalal angkat bicara. Dia mengatakan, sudah saatnya agar kasus seperti ini tidak terjadi di masa depan dan telah tiba waktunya bagi ASEAN meninggalkan prinsip tidak campur tangan urusan negara lain.
"ASEAN abad 21 harus beda dengan ASEAN tahun 1967. Dulu waktu ada genosida di Kamboja dan sebagainya yang lain pada diam," sebut Dino di Hotel Intercontinental, Selasa (6/12/2016).
"Sekarang, kalau ada komunitas yang sengsara dan terlanggar haknya saya kira itu harus jadi perhatian ASEAN," tambah dia.
Dino menekankan, kalau Myanmar masih acuh maka imbasnya akan sangat besar. Bukan cuma bagi negaranya tapi bisa berefek di negara tetangga, termasuk Indonesia.
"Saya kira Myanmar jangan terlalu tidak peka akan hal itu. Ini kan masalah regional kalau ada orang Rohingya yang terlantar imbasnya ke negara tetangga," papar dia.
"Tak perlu terlalu sensitif dan jangan berlindung di balik non-interference," pungkas dia.