Liputan6.com, Jakarta - Awal April 2016, Tito Karnavian tiba di kawasan Pegunungan Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kala itu, Tito masih berpangkat Inspektur Jenderal dan menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Derap langkah lelaki asal Palembang, Sumatera Selatan ini, sempat terhenti saat media menggerumuninya. Tito diminta pendapatnya soal operasi perburuan Santoso, pimpinan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang bebaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), sekaligus teroris nomor satu di Indonesia.
Advertisement
“Dalam dua bulan terakhir sudah banyak penangkapan. Dan kelompok ini sudah jauh lebih melemah,” kata Tito kepada Liputan6.com, Minggu, 3 April 2016.
Tito merupakan anggota kepolisian yang pernah terlibat dalam penanganan konflik berdarah di Bumi Poso. Lelaki kelahiran 26 Oktober 1964 ini bahkan menuliskan proses penanganan konflik berbau SARA yang berkecambuk pada akhir dekade 1990-an itu menjadi sebuah buku. Saat ditunjuk Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Kepala BNPT, Tito menjadikan operasi pemberantasan Santoso dan kelompoknya sebagai prioritas.
Operasi pemberantasan ini bersandi Tinombala. Operasi ini dilancarkan tim gabungan TNI-Polri sejak 10 Januari 2016. Operasi Tinombala merupakan kelanjutan dari empat operasi bersandi Camar Maleo, yang punya tugas serupa yakni memburu Santoso. Sejumlah insiden baku tembak mewarnai perjalanan operasi ini. 19 Januari 2016 menjadi aksi perdana operasi ini. Satgas Tinombala berhasil melumpuhkan dua anggota kelompok MIT. Kemudian pada Februari 2016, kontak senjata pertama pecah antara tim gabungan TNI-Polri dengan gerilyawan MIT di Sangginora, Poso Pesisir Utara. Kontak senjata ini membuat seorang prajurit dari Kepolisian tewas.
Operasi yang melibatkan sekitar 2.000 personel gabungan ini awalnya dicanangkan berlangsung hingga 9 Maret 2016. Namun, Santoso alias Abu Wardah belum juga tertangkap hingga batas akhir operasi. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan kemudian mengumumkan, operasi penangkapan Santoso dan kawan-kawannya diperpanjang selama enam bulan. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Polhukam kala itu, mengatakan, perpanjangan operasi dilakukan lantaran belum tuntasnya gangguan keamanan di Bumi Poso yang dilakukan Santoso.
Setelah resmi diperpanjang, semua unit yang terlibat dalam pengejaran kelompok teroris paling berbahaya ini kian siaga. Operasi yang semula difokuskan untuk memburu dengan strategi dan taktik penumpasan, kemudian mulai mengubah pola. Sejak diperpanjang, fokus operasi mulai dipecah tak hanya menumpas, tapi juga memutus rantai aliran logistik buat kelompok ini.
Sejumlah baku tembak dan penangkapan anggota kelompok, membuat Santoso kian terdesak ke wilayah Pegunungan Napu. Satgas Tinombala kemudian melakukan operasi penyisiran dengan menerapkan strategi pengepungan. Santoso dan 30 anggotanya yang terdesak di Pegunungan Napu, dikepung satgas dari empat sisi yakni Parigi Moutong, Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan dan Napu. Strategi ini cukup berhasil karena mampu membuat kelompok ini terjepit sekaligus kelaparan. Ini membuat satgas dengan mudah menangkap anggota jaringan Santoso.
“Operasi Tinombala, Polri-TNI yang sudah tergabung di sini, sudah cukup baik. Jumlah pasukan yang cukup, taktik dan strategi yang dilakukan pun memadai,” kata Tito, kala itu.
Tiga pekan setelah kedatangan Tito ke Napu, Satgas Tinombala berhasil menumpas dua anggota jaringan Santoso. Mereka adalah Ibad alias Amri dan Samsul alias Muhammad Son Haji. Keduanya merupakan kurir logistik yang biasa menyuplai kebutuhan makanan dan senjata. Penangkapan ini makin membuat mereka terdesak. Kemudian pada Mei 2016, Satgas menembak mati Sucipto alias Aco, Yazid alias Taufik, dan Rima.
Tiga bulan berlalu setelah Tito berkunjung ke Napu. Juli 2016, Tito Karnavian resmi diumumkan Presiden Joko Widodo sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal Badrodin Haiti. Kenaikan Tito sebagai Kapolri diiringi dengan peristiwa keberhasilan Operasi Tinombala. Senin, 18 Juli 2016, Santoso berhasil ditembak mati satgas. Peristiwa ini terjadi di Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara. Di kawasan Posos Pesisir Utara itulah, Suwarni, istri pertama yang sudah ditinggal empat tahun, menetap bersama tiga anaknya yang selalu menunggu kapan Santoso akan pulang ke rumah.
“Ya kangen. Dia (anak-anak) bilang, abi enggak pernah kembali,” ucap Suwarni.
Bara Teror di Poso
Jejak ekstremisme yang tumbuh dan berkembang di Poso, tak bisa dilepaskan dari konflik horizontal 1998 hingga 2005. Konflik tersebut mengundang sejumlah kelompok radikal Islam berdatangan ke Poso. Kurun 1998-2001, kelompok radikal ini datang silih berganti dan menawarkan sejumlah bantuan makanan hingga pelatihan militer.
Sejarah konflik di Poso dimulai melalui konflik vertikal antara dua kelompok agama pada 1998. Perseteruan berdarah antara sesama anak bangsa—kelompok muslim dan nasrani—itu sempat padam melalui perjanjian Malino pada 2001. Namun perjanjian damai masih menyisakan dampak konflik. Dendam dan amarah masih menggumpal di batin sejumlah warga.
Tito Karnavian yang kala itu berpangkat Inspektur Jenderal dan menjabat Kepala BNPT, menjelaskan, sebagian kelompok yang terlibat dalam kerusuhan Poso tak puas dengan penyelesaian konflik. Ketidakpuasan inilah, katanya, yang memupuk bara ekstremisme setelah konflik. “Mereka masih teringat konflik masa lalu. Kemudian mereka menuntut penyelesaian hukum khusunya. Tapi saat itu ada perjanjian Malino,” kata Tito kepada Liputan6.com.
Menurut Tito, amarah dan dendam sisa konflik perlahan menjadi dasar lahirnya kelompok teror. Sebagian bekas kombatan kerusuhan Poso menjadi kelompok utama yang mengusung ketidakpuasan. Apalagi, bekas kombatan ini telah terlebih dahulu disisipi Jamaah Islamiyah (JI), sebuah kelompok ekstrem yang menularkan pemahaman agama dengan unsur kekerasan.
Kehadiran JI di Poso, tak pernah dipesoalkan sebelumnya. Maklum, konflik SARA yang berkecambuk kala itu memang mendatangkan banyak bala bantuan. Andi Baso Thahir alias Ateng, bekas gerilyawan konflik Poso, menuturkan, dia dan rekan-rekannya tak menyadari kehadiran JI bakal membawa masalah. Saat itu, Ateng berpikir mereka datang buat membantu lantaran kelompok muslim berada dalam posisi terpojok dalam kerusuhan Poso.
“Kami adalah pihak yang terdesak ketika konflik Poso terjadi. Jadi apa pun yang datang, dari mana pun, dalam bentuk bantuan, kami terima. Kami malah bingung ketika di televisi, Jamaah Islamiah bermain di Poso. Jamaah Islamiyah ini apa?” kata Ateng.
Kelompok ekstrem skala Asia Tenggara ini, saat itu dikomandoi Abu Bakar Baasyir (ABB). JI bergabung dengan kelompok muslim melalui bantuan makanan, dana, hingga pelatihan militer. JI kemudian bermetamorfosa menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Meski nama berganti, aktivitas yang dilakukan tetap sama, yakni memberi bantuan makanan, dana, hingga pelatihan militer.
Lewat Imron Baihaqi alias Abu Tholut, JAT Cabang Poso terbentuk. Pembentukan pengurus di satu sisi, membutuhkan pembentukan unit lain yakni Laskar Asykari (militer). Abu Tholut pernah didakwa sebagai penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh, pada 2010, kemudian menunjuk Santoso alias Abu Wardah sebagai Ketua Laskar Asykari JAT Cabang Poso, dan diberi tugas menggelar pelatihan militer. Dari sini, jejak ekstrem di bumi Poso kembali muncul.
Penunjukan Santoso sebagai Ketua Laskar Asykari JAT Poso, bukan tanpa dasar. Santoso pernah ikut terlibat dalam gerilyawan kala konflik berbau SARA melanda Poso pada 1998 hingga 2005. Meskipun jika menilik catatan, Tito Karnavian sempat meragukan kemampuan bapak beranak lima ini. “Dari pemeriksaan kami pada 2005, dia sebetulnya bukan ideolog dan ahli strategi yang baik,” ujar Tito yang sempat menangkap Santoso lantaran merampok mobil box untuk dana jihad pada 2004.
Konflik yang menyisakan dendam serta asupan ideologi ekstrem yang diterima Santoso, sudah mengubah dirinya. Apalagi, Santoso banyak menerima ilmu dari pelatihan militer yang sempat berlangsung selama konflik. Dendam, kebencian, dan keberanian diolah Santoso menjadi kemampuan. Dalam sejumlah salinan putusan pengadilan terkait kasus terorisme yang didapat Liputan6.com, Santoso tercatat melatih hampir 100 peserta dalam enam pelatihan yang digelar JAT Cabang Poso pada 2011 dan 2012. Lokasi pelatihan yang dipilih Santoso berada di kawasan Gunung Biru.
Advertisement
Jejak Teror Santoso
Insiden perampokan Bank Central Asia (BCA) Cabang Palu, pada 25 Mei 2011, menjadi insiden pertama yang membelalakan mata eks gerilyawan konflik Poso. Aksi penembakan dengan senapan jenis M-16 itu menewaskan Januar Yudistira Pranara dan Andi Irbar Prawiro. Kedua korban merupakan polisi yang sedang bertugas di sekitar kantor bank itu di hari nahas itu.
Insiden penembakan ini menjadi salah satu cerita teror yang menggegerkan di Bumi Sulawesi. Aksi yang dilakukan tiga orang itu sempat membuat polisi was-was. Insiden penembakan ini menjadi monumen perang pertama yang ditabuh Santoso alias Abu Wardah kepada polisi. Seturut perjalanan waktu, Santoso menjadi teroris paling diburu karena menjadi pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang berbaiat kepada pemimpin Negara Islam, Abu Bakar Al-Baghdadi.
Dalam catatan kepolisian, Santoso hanya sekali berulah. Yakni saat merampok sebuah mobil box untuk mendanai jihad alias fa’i. Perampokan itu tak serta mereta membuat namanya dikenal polisi. Santoso yang lahir dari keluarga miskin ini juga tak begitu menonjol di kalangan kelompok bersenjata saat konflik SARA melanda Poso.
Andi Baso Tahir alias Ateng, salah satu teman semasa tergabung dalam kelompok bersenjata di Konflik Poso tahun 2000, menjelaskan, Santoso bukan orang yang menonjol dalam kelompok. Pria tak tamat Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah itu, dikenal Ateng, hanya punya satu keahlian yakni membaca peta. Kemampuan tersebut, kata Ateng, didukung hobi naik gunung. Sebab, Santoso punya latar belakang keluarga petani yang terbiasa mendatangi lahan di daerah perbukitan. “(Jadi) Dia punya keahlian itu,” kata Ateng kepada Liputan6.com.
Di mata Ateng, Santoso adalah lelaki yang sangat santun. Sikap kerasnya hanya ditujukan terhadap lawan gerilya semasa konflik, yakni kelompok Nasrani. Sikap santun Santoso ini bahkan tak hilang saat keluar dari penjara. Ia bahkan kerap bertemu dan bertegur sapa. Dalam kurun 2004 hingga 2006, kata Ateng, dirinya beberapa kali bertemu saat Santoso saat sedang berjualan buku, pupuk, dan golok dengan sepeda motor.
Santoso yang terbiasa Salat Asar berjamaah bersama Ateng, mulai menghilang pada 2007 hingga 2011. Tiba-tiba, nama Santoso terpampang dalam daftar pencarian orang yang dirilis polisi. Ateng kaget sebab kawan lamanya itu terlibat dalam penembakan polisi di depan Bank BCA Palu. “Begitu muncul lagi, namanya muncul di kasus BCA,” ucap Ateng.
Perubahan sikap Santoso tak bisa dilepaskan dari pengaruh kelompok-kelompok militan Islam semasa konflik. Jamaah Islamiyah (JI), salah satunya. Organisasi ini terlibat aktif menyokong kelompok Islam semasa konflik. Alchaidar, pengamat terorisme lulusan Universitas Indonesia, mengatakan, jejak ekstrem Santoso sebenarnya sudah terlacak sejak awal 1990-an. Bekas anggota Negara Islam Indonesia ini menyebut, Santoso sempat mendapat gemblengan pemahaman agama dari Abu Husna alias Hambali, yang dikenal sebagai salah satu pentolan JI. Bahkan, Santoso disebut Alchaidar sempat menjalani pelatihan militer di Mindanau, Filipina.
Meski begitu, kemampuan yang didapat dari pelatihan militer ini tak membuat lelaki beristri dua dan tak lulus Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Poso ini, aktif dan menjadi penggawa kelompok tersebut semasa konflik. Ia hanya sesekali datang, itu pun jika ada panggilan amaliyah atau penyerbuan. Namun di saat bersamaan, kata Alchaidar, Santoso mengalami persentuhan ideologis dengan kelompok-kelompok ekstrem Islam yang datang ke Poso.
Benih ekstrem yang ditanamkan JI diperkuat dengan ‘asupan-asupan’ materi dari berbagai kelompok yang mendukung kelompok Muslim selama konflik. Di saat itulah, jejak ekstrem dalam diri Santoso menjadi kuat. Pemahaman agama yang fanatik semakin menguat pascakonflik. Sebab, Santoso kian sering bersentuhan dengan kelompok-kelompok Islam ekstrem yang masih berada di Poso.
Belakangan, bekal pelatihan dan pemahaman agama yang keras inilah yang membuatnya ditunjuk Abu Tholut, penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh pada 2010, sekaligus Ketua Departemen Pendidikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebagai Ketua Laskar Asykari (Laskar Militer) JAT Cabang Poso pada 2009 dan definitif terbentuk Januari 2011. “(Sikap keras ini) membuat Abu Tholut ketika itu yakin dengan kepemimpinan Abu Wardah (untuk menjadi Ketua Asykari JAT Poso),” sebut Alchaidar.
Jejaring Teror Kelompok Santoso
Serangkaian teror yang dilakukan Santoso di Poso, tak dilakukan sendirian. Lelaki yang lahir dari keluarga transmigran dan miskin ini merekrut sejumlah orang untuk menjadi bagian kelompoknya. Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Santoso dijadikan simbol bagi kelompok-kelompok yang selama ini melawan pemerintah. Tito yang pernah memeriksa Santoso dalam kasus perampokan mobil pada 2004, mengatakan, Santoso punya mental kuat dan petarung.
“Dia orang yang berpikiran pendek dan berani. Pemukul, kira-kira begitu. Sehingga, dia dijadikan simbol di Sulawesi Tengah, dan juga di luar Sulawesi Tengah,” kata Tito saat masih menjabat Kepala BNPT dan berpangkat Inspektur Jenderal, Minggu, 3 April 2016.
Dalam catatan yang dimiliki Liputan6.com, Santoso berhasil merekrut 100-an pengikut dari 2010. Pengikut Santoso pun tak segan melakukan teror. Sehingga, polisi harus melakukan serangkaian penangkapan dan insiden baku tembak. Ini membuat kekuatan Santoso melemah. April 2015, anggota TNI-Polri yang tergabung dalam operasi bersandi Camar Maleo, berhasil menumpas Daeng Koro. Orang kedua terpenting dalam jaringan Santoso dan MIT.
Meski begitu, Santoso dan pengikutnya yang tergabung dalam MIT dan berbaiat kepada ISIS tetap melawan. April 2016, Mabes Polri merilis 31 nama dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait jaringan teror Santoso. Tiga di antara 31 DPO itu merupakan perempuan. Ke-31 DPO ini adalah orang-orang yang tersisa dari sekitar 100-an anggota yang dahulu tergabung dalam jaringan Santoso. Mereka merupakan rekrutan pelatihan militer yang digelar Santoso sejak 2011.
Polisi terus memburu pelaku teror ini. Satu per satu, anggota jaringan ini ditangkap dan ditembak mati lantaran melawan. Ibad, Yazid, dan Taufik sudah ditangkap. Seturut kemudian, Sucipto dan Syamil juga turut ditembak mati. Gerak langkah jaringan Santoso makin terdesak. Peluru dari senapan seorang anggota Raider Kostrad, Batalyon 515 Jember, berhasil menembus tubuh lelaki yang punya sebutan Abu Wardah ini. Tubuh Santoso pun terkulai dan roboh menyandar ke sebuah pohon, pada Senin, 18 Juli 2016. Saat Santoso tewas, Jumiatun alias Umi Delima yang merupakan istri kedua Santoso, juga turut diamankan.
Selepas Santoso tewas, kepemimpinan kelompok ini dipegang Basri alias Bagong dan Ali Ahmad alias Ali Kalora. Basri menjadi orang yang punya latar belakang paling komplet selain Santoso. Narapidana kasus pemenggalan tiga siswi SMK di Poso ini berhasil kabur saat menjalani hukuman 13 tahun penjara di Lembaga Pemasyarkatan Kelas II B Ampana, pada 19 April 2013. Tak hanya itu, Basri terlibat dalam 10 aksi kekerasan dan teror dalam kurun 2003 sampai 2007. Reputasi kejahatan inilah yang menempatkan lelaki bernama lengkap Muhammad Basri bin Baco ini sebagai wakil Santoso dalam jaringannya.
Nahas, Basri yang juga membawa serta istriya, Nurmi Usman alis Oma, akhirnya ditangkap Satgas Tinombala pada Rabu, 14 September 2016. Sehingga kepemimpinan MIT kini berada di bawah Ali Kalora. Ali yang merupakan peserta pelatihan militer 2011 ini diduga terlibat dalam setiap aksi kekerasan yang dilakukan kelompok Santoso sepanjang 2011. Ali didampingi Muhtar alias Kahar, yang bertugas menampung dana dan logistic MIT. Ali pun membawa serta Tini Susanti alias Umi Fadel untuk melawan Satgas Tinombala. Sayang, Tini sudah dibekuk satgas bersama anggota kelompok lainnya.
Kini, Mujahidin Indonesia Timur diprediksi hanya menyisakan 10 anggota dengan Ali Kalora sebagai Imam. Mereka kini berhadap-hadapan dengan 2.500 personel gabungan TNI-Polri yang masih bersiaga dalam operasi Tinombala.
Advertisement