Liputan6.com, Jakarta - Gempa bumi berkekuatan 6,5 skala Richter yang mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh pada hari ini pukul 05.03 menjadi sorotan internasional. Tak heran, karena Aceh mendunia setelah tsunami dahsyat menggulung wilayah itu pada tahun 2004 lalu.
Berbagai peristiwa ini menyimpulkan, baik di darat, laut, maupun udara, bencana alam senantiasa menghantui manusia. Beberapa mungkin dapat diprediksi, namun tak jarang di luar dugaan.
Advertisement
Sejarah mencatat sejumlah bencana mematikan. Disebut demikian karena tingginya korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut 14 bencana paling mematikan yang penah terjadi:
Tsunami yang Memusnahkan Peradaban Minoa
Pada masa Yunani Kuno tepatnya tahun 1500 SM gelombang gergasi menyapu wilayah yang kini dikenal sebagai Santorini. Ini diketahui sebagai tsunami pertama yang tercatat sejarah.
Penyebabnya, adalah meletusnya gunung berapi di Pulau Thera (kini dikenal sebagai Santorini). Ini diketahui berdasarkan penelitian terbaru yang merujuk pada bukti arkeologi di Kreta.
Tsunami yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi itu disebut menyapu kawasan pesisir Kreta dan menghancurkan permukiman di tepi pantai. Jumlah korban tewas tidak diketahui pasti, namun ditaksir mencapai lebih dari 100.000 jiwa.
Sementara itu, tinggi gelombang tsunami diperkirakan mencapai 15 meter. Bencana ini disebut-sebut sebagai penyebab utama runtuhnya Peradaban Minoa.
Seperti dikutip dari International Business Times, penelitian di Pulau Kreta dan Santorini mengisyaratkan bahwa filsuf Yunani, Plato kemungkinan terinspirasi oleh bencana tsunami ini ketika ia menuliskan legenda Atlantis--sebuah pulau misterius yang tenggelam hanya dalam waktu satu hari satu malam.
Gempa Aleppo
Pada 11 Oktober 1138, Kota Aleppo yang kini dilanda perang diguncang lindu yang tercatat sejarah sebagai salah satu yang paling mematikan. Bencana itu kabarnya diawali lebih dulu dengan gempa kecil pada tanggal 10.
Data US Geological Survey (USGS) menyebutkan bahwa gempa Aleppo ini merupakan keempat yang paling mematikan dalam sejarah. Namun ada pula yang menempatkannya di posisi ketiga setelah guncangan seismik di Shensi dan Tangshan, China.
Seperti dikutip dari NBC News, gempa kala itu disebut merobohkan tembok kedua terbesar di Suriah. Sejumlah benteng pun disebut hancur.
Bencana ini diketahui merupakan gempa pertama dari beberapa kali yang pernah terjadi antara tahun 1138 dan 1139 yang menghancurkan wilayah Suriah utara dan Turki barat.
Korban jiwa akibat gempa disebut-sebut mencapai 230 ribu orang. Namun ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa jumlah tersebut merupakan hasil akumulasi dari gempa pada November 1137 di dataran Jazira dan gempa lainnya pada 39 September 1139 di Kota Transkaukasus di Ganja.
Advertisement
The Black Death
Maut hitam atau wabah hitam atau dikenal dunia dengan sebutan The Black Death adalah suatu pandemik hebat yang pertama kali melanda Eropa pada Abad Pertengahan hingga akhir Abad ke-14.
Julukan maut hitam disebut-sebut berasal dari gejala khas penyakit ini yang dinamai acral necrosis, di mana kulit penderita menghitam karena pendarahan subdermal.
Catatan sejarah telah membuat sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa maut hitam adalah suatu serangan wabah bubonik yang disebabkan bakteri Yersinia Pestis dan disebarkan oleh lalat dengan bantuan hewan seperti tikus rumah. Meski demikian ada juga kalangan yang menyangsikan kebenaran hal ini.
Selama ribuan tahun, tidak ada penyakit epidemi. Namun, ketika orang-orang mulai tinggal di kota, infeksi bisa menyebar dengan lebih mudah. Ketika pedagang dan tentara melakukan perjalanan dari kota ke kota, mereka membawa bakteri dan virus bersama mereka dan menyebarkan infeksi ke populasi baru. Anak-anak dalam bahaya terbesar karena hingga abad kesembilan belas, 50% anak meninggal sebelum usia lima tahun.
Terdapat beberapa teori mengenai asal dari wabah ini. Salah satu teori yang paling tua adalah bahwa maut hitam berasal dari dataran stepa di Asia tengah. Dari daerah ini, menyebar menuju Eropa melalui Jalur Sutra dibawa oleh tentara dan pedagang Mongol. Wabah ini menyebar di Asia dan merebak di Provinsi Hubei, Cina, Pada tahun 1334. Maut Hitam di Eropa pertama kali dilaporkan berada di Kota Caffa yang berada di Krimea pada tahun 1347.
Antara 1346 dan 1350 lebih dari sepertiga penduduk Eropa atau sekitar 75 juta orang tewas oleh wabah pes.
Maut Hitam menimbulkan akibat drastis terhadap populasi Eropa, serta mengubah struktur sosial Eropa. Wabah ini mengakibatkan perburuan dan pembunuhan terhadap kaum minoritas seperti Yahudi, pendatang, pengemis, serta penderita lepra.
Shaanxi 1556
Suara gemuruh keras terdengar. Datangnya bukan dari langit, tapi menyentak dari dalam Bumi. Pagi itu, di tengah musim dingin, tanah berguncang hebat di Shaanxi dan Shanxi, Tiongkok. Gempa hanya dalam hitungan menit dan detik, namun akibatnya drastis lagi dramatis.
Orang-orang terpaksa tinggal beratap langit, menggigil tanpa kehangatan. Wilayah 1.000 kilometer persegi luluh lantak pada hari bencana terjadi, 2 Februari 1556. Catatan lain menyebut lindu mengguncang pada 23 Januari 1556.
Nyawa manusia pun melayang. Secara massif. Setidaknya 830 ribu orang atau 60 persen populasi wilayah terdampak tewas -- akibat gempa dahsyat, kebakaran yang terjadi selama berhari-hari, beku di tengah udara dingin, banjir, atau bahkan penjarahan yang merajalela setelahnya.
Banyaknya korban jiwa membuat peristiwa tersebut masuk daftar gempa paling mematikan dalam sejarah.
Penjelajah Portugis, Gaspar da Cruz yang mengunjungi wilayah Guangzhou pada 1556 mendengar kabar soal malapetaka itu. Dalam bab terakhir bukunya, Treatise of China (1569), ia menduga, gempa mungkin adalah hukuman untuk para pendosa.
Qin Keda, seorang sarjana teladan yang jadi juara dalam ujian pemerintah, berhasil lolos dari maut. Ia tak hanya mencatat proses terjadinya gempa, tapi juga memberi petunjuk bagaimana untuk selamat dari amuk alam.
"Saat gempa mulai terjadi, orang-orang yang ada di dalam rumah atau bangunan harus cepat-cepat keluar. Berjongkok lah di luar rumah hingga getaran reda," kata dia, seperti dikutip dari situs Science Museums of China.
Qin Keda juga membuat perumpamaan. "Bahkan ketika sarang jatuh, sejumlah telur yang rapuh punya peluang tetap utuh."
Pengalaman tersebut hingga kini terus dipraktikkan, dan terbukti menyelamatkan jutaan nyawa manusia saat gempa terjadi.
Apalagi, fakta dan sejarah memberikan petunjuk: gempa mungkin tak akan merenggut nyawa manusia, namun kualitas bangunan yang buruk bisa jadi 'pembunuh' sesungguhnya.
Advertisement
Petaka Tambora
Kekuatan letusan Tambora pada 10-12 April 1815 adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.
Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura modern, mengira bunyi memekakan telinga itu berasal dari meriam.
Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer dalam bukunya “Eruptions that Shook the World” memperkirakan, 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung -- oleh awan panas, tsunami -- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.
Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.
Dari 12.000 warga yang mendiami pinggang Tambora, nyaris seluruhnya binasa dalam sehari pada letusan pertamanya, terempas abu vulkanik dan aliran piroklastik. Dari jumlah tersebut, hanya 26 yang selamat. Korban untuk Pulau Sumbawa dan Lombok sekitar 92.000 orang. Mereka tewas karena berbagai penyakit dan kekurangan pangan.
Erupsi Tambora juga berdampak global. Abu dan panas sulfur dioksida menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit.
Di belahan dunia lain, efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.
Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.
Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.
Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.
Kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.
Bencana Sungai Yangtze
Pada 18 Agustus 1931, Sungai Yangtze atau dikenal pula dengan sebutan Sungai Kuning di China meluap dan membanjiri wilayah sekitar. Seperti dikutip dari History.com, setidaknya 3,7 juta orang tewas baik secara langsung atau tidak langsung selama beberapa bulan ke depan.
Bencana ini dijuluki sebagai bencana alam terburuk di Abad ke-20.
Sungai Yangtze mengalir melalui China selatan, salah satu kawasan yang paling padat di muka Bumi. Pada April 1931, curah hujan dilaporkan jauh di atas rata-rata. Ketika hujan deras kembali datang pada Juli maka bencana tak terhindar lagi.
Pada awalnya, luapan air Sungai Kuning membuat 500.000 orang mengungsi. Dan ketika tinggi air terus belum juga surut di paruh pertama Agustus, curah hujan kembali jauh di atas rata-rata.
Hal ini berdampak pada hancurnya lahan-lahan pertanian di mana kota-kota besar seperti Wuhan dan Nanjing sangat bergantung pada beras di kawasan tersebut. Akibatnya, orang-orang mati kelaparan.
Selain itu, tipus dan disentri merajalela akibat pencemaran sungai. Pada akhirnya jutaan orang meninggal dunia akibat kelaparan dan penyakit, di mana hal ini terjadi justru setelah air surut.
Bencana mungkin saja dapat dihindari jika langkah-langkah pengendalian banjir diterapkan. Sungai Kuning diketahui membawa sejumlah besar sedimen yang terakumulasi di daerah tertentu di sungai itu sehingga harus dibersihkan secara teratur.
Namun saat itu langkah tersebut diabaikan karena terjadi perang saudara.
Advertisement
Gempa Tangshan
Sebelum malapetaka datang, alam diyakini telah memberikan pertanda. Dengan mata kepala sendiri, warga menyaksikan hal-hal aneh terjadi.
Permukaan sumur di luar kota Tangshan di Tiongkok naik turun tiga kali sehari. Di desa lain gas keluar dari sumber air warga.
Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium gelisah dan mencoba melompat keluar.
"Cuaca sangat panas, beberapa hari sebelum gempa, anjing dan ayam menolak masuk ke bangunan," kata Yao Guangqing, pegawai pemerintah, seperti dikutip dari situs Danwei.
Sikap manusia pun berubah. Malam sebelum gempa, ada pertunjukan layar tancap. Butuh waktu empat jam untuk menayangkan satu film saja. Orang-orang gelisah dan gampang marah, berkali-kali jalan cerita dihentikan di tengah jalan gara-gara perkelahian antar-penonton.
Sebelum fajar menyingsing, 28 Juli 1976, para peternak di Kaokechuang juga menjumpai hal tak biasa. Kala itu, mereka berniat memberikan pakan sesuai jadwal.
Bukannya makan, kerumunan kuda dan keledai justru mengamuk. Mereka melompat dan menendang sejadinya. Setelah menjebol kandang, hewan-hewan itu lari tunggang langgang.
Beberapa menit kemudian, kilatan cahaya putih menyilaukan terlihat di langit. Gemuruh yang luar biasa keras terdengar saat gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter mengguncang area Tangshan dan sekitarnya, tepat saat jarum jam menunjuk ke pukul 03.42 waktu setempat.
Gempa utama berlangsung 'hanya' 14 sampai 16 detik. Tak lama kemudian giliran lindu 7,1 SR mengguncang.
Dampaknya sungguh fatal. Kota-kota di sekitar episentrum hancur lebur. Sebanyak 240 ribu orang meninggal dunia -- meski banyak orang yakin, jumlah mereka yang tewas sampai 750 ribu jiwa.
Guncangan juga dirasakan kuat di Beijing, yang memaksa warga malam itu tinggal di luar rumah. Mereka tak berani kembali ke rumah.
Saking kuatnya guncangan, orang-orang dilaporkan terlempar ke udara. Jalan, jembatan, stasiun kereta api, rumah dan pabrik-pabrik remuk bak terbuat dari kardus -- bukan beton.
Gempa juga memutus aliran listrik yang membuat upaya penyelamatan berlangsung sulit. Satu-satunya hal yang bisa disyukuri adalah, lindu melanda pada musim panas. Tak terbayangkan derita yang harus dialami mereka yang selamat jika bencana terjadi pada musim dingin. Niscaya jumlah korban jiwa akan lebih tinggi.
Warga asing yang kebetulan melewati Tangshan setahun kemudian menggambarkan kehancuran yang ia saksikan. "Mirip gambaran dampak terburuk bom selama Perang Dunia II".
Amukan Nevado del Ruiz Meletus
Pada 13 November 1985, Gunung Nevado del Ruiz di provinsi Tolima, Kolombia, meletus. Letusan yang terjadi selang 150 tahun ini menyebabkan kerusakan yang sangat dahsyat. Empat kota yang berada di bawahnya terkubur abu dan longsoran lumpur.
Kota yang terkena dampak terparah adalah Armero. Kota yang berjarak 50 kilometer dari Bogota ini hancur total karena tertimpa aliran lumpur dan reruntuhan bangunan.
Lebih dari 23.000 penduduk Armero tewas. Penduduk tidak sempat menyelamatkan diri karena letusan terjadi di malam hari.
Tanda-tanda akan adanya letusan sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa bulan sebelumnya. Namun pemerintah tidak melakukan evakuasi karena menganggap kota Armero masih aman untuk ditinggali.
Letusan Gunung Nevado del Ruiz pada tahun 1985 ini merupakan letusan gunung berapi paling mematikan kedua sepanjang abad kedua puluh. Sebelumnya, Gunung Nevado telah dua kali meletus, yakni pada tahun 1595 dan 1845.
Advertisement
Gempa Aceh 2004
Tsunami menggulung sebagian wilayah Aceh pada 26 Desember 2004. Gelombang gergasi itu muncul setelah dipicu gempa bumi bawah laut, sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatra yang terjadi pada pukul 07.59 waktu setempat.
Gempa bumi ini terjadi ketika lempeng Hindia disubduksi oleh lempeng Burma sehingga menghasilkan tsunami mematikan di pesisir sebagian besar daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia.
Gelombang tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 meter ini disebut-sebut menewaskan lebih dari 230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi pantai.
Ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia adalah negara yang terkena dampak paling besar, diikuti Sri Lanka, India, dan Thailand.
Gempa saat itu merupakan yang terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan memiliki durasi terlama sepanjang sejarah, sekitar 8,3 sampai 10 menit. Gempa tersebut mengakibatkan seluruh Bumi bergetar 1 sentimeter dan menciptakan beberapa gempa lainnya sampai wilayah Alaska.
Penderitaan yang dialami masyarakat dan pemerintah korban bencana membuat seluruh dunia mengirimkan bantuan kemanusiaan. Secara keseluruhan, masyarakat dunia menyumbangkan lebih dari US$ 14 miliar (nilai tahun 2004) untuk bantuan kemanusiaan.
Katrina di Negeri Paman Sam
Katrina -- tak seindah namanya -- badai itu menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat.
Hantaman Katrina pada 29 Agustus 2005 menghancurkan sebagian AS, dari Louisiana sampai Florida Panhandle.
Negara bagian Louisiana dan Mississippi menjadi penderita terparah. Delapan puluh persen Kota New Orleans tertutup banjir setelah tanggul-tanggul pelindung banjir roboh.
Sebagian penduduk New Orleans terpaksa mengungsi ke atap rumah selama berhari-hari. Ribuan penduduk yang mencari perlindungan di sebuah arena olahraga tertutup di kota itu, Superdome, akhirnya justru terdampar berhari-hari dengan sedikit makanan dan air minum. Jasad-jasad korban terabaikan.
Ribuan bangunan rusak parah dan korban tewas mencapai 1.800 jiwa. Sejuta penduduk harus mengungsi.
"Ini adalah bencana terbesar dalam sejarah Amerika Serikat," kata Presiden AS saat itu, George Walker Bush Jr, dalam pidatonya di Gedung Putih, seperti dikutip dari VOA. Status darurat diberlakuan.
Namun, kritik menghujani pemerintahan Bush yang dinilai tak tanggap menghadapi bencana alam. Truk-truk pengangkut bahan bantuan pemerintah federal yang bergerak menuju wilayah bencana dinilai sangat jauh dari memadai. Pemerintah saling tuding.
Walikota New Orleans saat itu Ray Nagin menyalahkan pemerintah federal atas keterlambatan bantuan. Sedangkan, Gubernur Louisiana, Kathleen Blanco mengecam Badan Pengelolaan Keadaan Darurat Federal, FEMA.
Wakil Partai Demokrat, Bennie Thompson dari Mississippi -- salah satu negara bagian terparah akibat Katrina mengatakan bahwa para korban badai menderita karena pemerintah tidak siap. "Bush tidak belajar dari pengalaman 11 September. Bahwa Amerika harus siap setiap saat menghadapi bencana," kritiknya.
Palang Merah setempat telah mengerahkan segenap upaya untuk membantu para korban, termasuk penyediaan bantuan makanan, air bersih dan akses komunikasi serta perawatan medis. Tapi, langkah itu belum mampu menangani seluruh kebutuhan pengungsi.
Ribuan warga makin putus asa menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Akibatnya penjarahan meraja lela. Kepolisian New Orleans menyatakan sudah tidak sanggup lagi mengendalikan keamanan dan ketertiban.
Sebuah ledakan besar terjadi di gudang bahan kimia di pinggiran Kota New Orleans. Kilang-kilang minyak di wilayah tersebut banyak yang ditutup akibat bencana, mengakibatkan melambungnya harga bahan bakar minyak.
Keadaan pada saat itu benar-benar kacau. Padahal, sekitar 35 jam sebelum badai Katrina menghantam, pengamat badai AS sudah membahasnya dengan gubernur Mississippi, Louisiana dan juga Presiden George W Bush. Namun tindakan baru diambil setelah ribuan nyawa melayang.
Enam hari kemudian, Presiden Bush memecat Bos FEMA Michael Brown -- yang dianggap paling bertanggung jawab -- dari jabatannya dan mengakui bahwa pemerintah federal tidak kompeten dalam menangani bantuan.
Sebanyak 300 tentara Angkatan Udara AS pun dipulangkan dari Irak dan Afganistan untuk membantu keluarga mereka mengatasi keadaan darurat.
Menurut Risk Management Solutions (RMS) of Newark, California, total kerugian akibat hantaman Badai Katrina ditaksir mencapai US$ 125 miliar atau sekitar Rp 1.462 triliun.
Situs The Economist menulis, Katrina telah menguak kelemahan pribadi maupun struktural Pemerintah AS. Juga menyingkap wajah tersembunyi Negeri Paman Sam: pahitnya diskriminasi rasial, pengabaian, perasaan terbuang, kelemahan infrastruktur yang kritis.
"Namun, yang paling mencengangkan sekaligus mempermalukan adalah kegagalan pemerintah untuk memberi bantuan bagi rakyatnya pada saat mereka sangat membutuhkan perlindungan."
Advertisement
Gempa Goyang 3 Negara
Pada 8 Oktober 2005, gempa berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang sejumlah daerah di Pakistan, Afghanistan dan bagian utara India. Bencana ini menewaskan sedikitnya 74.000 orang dan menyebabkan 2,5 juta penduduk kehilangan tempat tinggal.
Menurut data US Geological Survey (USGS) episentrum gempa berada di dekat Muzaffarabad sekitar 105 kilometer di timur laut Islamabad dengan kedalaman 26 kilometer dari permukaan.
Banyaknya korban yang meninggal dunia karena bangunan yang mereka diami runtuh. Sekitar 50 persen gedung-gedung di Muzaffarabad dilaporkan rata dengan tanah.
Di Islamabad, dua bangunan tinggi yang merupakan apartemen, runtuh, menimbulkan korban jiwa sekitar ratusan orang.
Topan Nargis Hantam Myanmar
Pemerintah Myanmar mengumumkan terdapat lima wilayah yang masuk dalam zona bencana alam setelah negara itu dihantam topan tropis Nargis. Korban tewas akibat bencana ini disebut mencapai lebih dari 100.000 jiwa.
Nargis disebut-sebut merupakan topan terdahsyat di lempengan Samudra Hindia utara.
Advertisement
Gempa Haiti 2010
Pada 12 Januari 2010, gempa berkekuatan 7,0 skala Richter mengguncang Haiti. Lindu itu bertanggung jawab atas kematian lebih dari 200 ribu jiwa, sementara 1,5 juta korban gempa yang selamat kehilangan tempat berteduh.
Guncangan hebat yang berlangsung pukul 04.30, berpusat di 15 mil dari Ibukota Port-au-Prince -- kota dengan populasi paling padat di Haiti. Sekitar 70 persen bangunan rata dengan tanah, nyaris tak ada yang bisa dijadikan tempat mengungsi. Bahkan istana Presiden ikut rubuh. Demikian dilansir dari situs History.
Setelah gempa, masalah lain pun muncul. Ribuan jasad korban tergeletak di jalanan. Tak ada tenaga dan daya tersisa untuk mengidentifikasi dan menguburkan mereka secara layak. Pemerintah setempat pun memutuskan mengubur jenazah yang tidak bisa teridentifikasi di kuburan masal.
Belakangan, para ilmuwan menemukan sesuatu yang tak disangka-sangka. Gempa Haiti ternyata disebabkan oleh patahan (fault) yang belum pernah dipetakan. Bukan patahan Enriquillo -- seperti yang dikira sebelumnya.
Tak hanya di bidang geologi, gempa Haiti menjadi pelajaran berharga tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana, termasuk kekuatan struktur bangunan.