Kaleidoskop 2016: Tangis Jessica dan Vonis 20 Tahun Penjara

Tangis Jessica saat membaca nota pembelaan di persidangan dianggap hanya sandiwara.

oleh Nafiysul QodarMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 29 Des 2016, 09:03 WIB
Terdakwa Jessica Kumala Wongso memberi keterangan dalam sidang ke-26 kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Episode pertama perkara pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin diketuk. Jessica Kumala Wongso dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan membunuh temannya sendiri, Mirna Salihin.

Hakim memutus Jessica penjara 20 tahun penjara. Putusan tersebut sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tangis Jessica tak mempan menangkis tuntutan JPU.

"Perbuatan terdakwa keji dan sadis terhadap teman sendiri," kata Hakim Ketua Kisworo dalam pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 27 Oktober 2016.

Jessica yang dinilai tak pernah menyesali perbuatannya dan mengakui perbuatannya membunuh teman dekatnya sendiri, menjadi alasan yang memberatkan hakim mengetuk vonis tersebut.

Selain hal memberatkan, Kisworo memaparkan dua hal yang meringankan Jessica. "Terdakwa masih berusia muda dan masih bisa memperbaiki diri," ujar Kisworo.

Ada hal menarik terungkap majelis hakim selama persidangan berjalan. Menarik ke belakang, Rabu 12 Oktober 2016. Hari itu persidangan jauh dari keriuhan. Peserta sidang, majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan pengacara seksama mendengarkan nota pembelaan Jessica.

"Mirna adalah teman yang baik, ramah, dan jujur. Selain itu, dia juga humoris," ucap Jessica mengawali pembacaan pembelaannya.

Perempuan 28 tahun ini terisak sepanjang membacakan pleidoinya. Suara Jessica terdengar terbata-bata membacakan pembelaan. Wajahnya tertunduk, sembari membacakan nota pembelaan dengan kacamata bingkai hitam.

Jessica menyatakan terus dipojokkan banyak orang sebagai pelaku pembunuhan Mirna. Padahal, dia tak pernah melakukan perbuatan tersebut. "Kejadian ini dibesar-besarkan. Keluarga saya dipojokkan. Kami dibuat menderita."

"Saya kehilangan, tapi juga dituduh membunuh. Ini menyakitkan," Jessica menambahkan.

Jessica mengatakan sebelum tewasnya Mirna Salihin usai minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, 6 Januari 2016, dia tak mendapat firasat apa pun.

"Saya tidak mendapat firasat apa pun kalau hari itu ternyata mengubah hidup banyak orang," ujar Jessica dengan suara parau.

"Semua tuduhan itu berdasarkan kebetulan yang saya tidak mengerti," sambung Jessica.

Pada sidang itu, Jessica juga bersikeras bukan diriinya yang membunuh Mirna. Bahkan, dia menyebut istri Arief Soemarko itu adalah teman baiknya.

"Mirna itu teman saya. Dia akan tetap hidup di hati saya. Dia tahu saya tidak meracuninya," kata Jessica terisak.

Jaksa Ardito Muwardi selaku koordinator JPU menilai, pleidoi Jessica hanyalah berupa curahan hati Jessica. Sebab Jessica tengah membela diri dari kursi pesakitan pengadilan.

"Kalau saya lihat pleidoi-nya Jessica bagian curhatnya Jessica. Seperti itu," tutur Ardito.


Naluri Hakim

Jessica saat mengikuti sidang ke-31 mengaku dipaksa penyidik untuk melakukan rekonstruksi kasus pembunuhan ini di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakpus di PN Jakpus, Kamis (20/10). Namun dia tak kuasa menolak peragaan itu. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Hakim yang memutus perkara atau memvonis rupanya tak terpedaya dengan tangisan Jessica.

"Jika terdakwa dalam pembelaannya bukan yang memasukkan sianida ke kopi korban dan membacakan sambil terisak, namun menurut naluri hakim, terdakwa yang memasukkan sianida ke kopi Mirna. Tidak ada orang lain di meja 54 selain terdakwa," tegas Hakim Anggota Binsar Gultom dalam pembacaan berkas putusan, Kamis 27 Oktober 2016.

"Tangisan tersebut tidak murni, tidak tulus dari hati yang mendalam. Tangisan itu hanya sandiwara selama proses persidangan," tegas Binsar.

Ada yang menarik dan tidak terungkap selama persidangan, khususnya saat Jessica membela diri. Majelis hakim rupanya jeli melihat gerak tubuh Jessica.

"Selama terisak-isak pembacaan pleidoi, tidak sedikit pun terdakwa meneteskan air mata. Tidak terlihat ingus menetes ke mulut. Di pangkal lengan tidak memegang tisu untuk menghapus air matanya," Binsar menuturkan.

Sebelum memutuskan bersalah atau tidaknya Jessica, majelis hakim lebih dulu membagi tiga kelompok pihak yang diduga memasukkan racun ke kopi Mirna.

Pertama, yaitu pihak restoran Olivier, kedua penyidik polisi yang memeriksa barang bukti, dan ketiga adalah pihak pemesan kopi, yakni Jessica.

"Dari tiga kelompok ini, siapa yang dominan bisa masukkan racun?" tanya Binsar sebelum palu vonis diketuk.

Dari tiga kelompok tersebut, Binsar mengatakan, seluruhnya mempunyai peluang yang sama sebagai penabur racun sianida ke kopi Mirna.

"Antara kelompok ini sama-sama berpeluang memasukkan sianida, tapi ada pembatas-pembatas," kata Binsar.

Namun, di antara ketiganya ada yang dianggap paling dominan sebagai pelaku pembunuh Mirna. Binsar menyebut, berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, Jessica dianggap sebagai pihak yang dominan menuangkan sianida ke kopi Mirna.

Hal tersebut dilihat dari berbagai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

"Terdakwa Jessica sudah perhitungkan rentang kopi untuk memasukkan sianida. Majelis hakim berkeyakinan yang paling dominan memasukkan racun adalah terdakwa Jessica," kata Binsar.

Binsar menjelaskan, berbagai fakta meyakinkan bahwa Jessica telah melakukan pembunuhan berencana. Hal itu terlihat dari apa yang terekam dari CCTV di Kafe Olivier.

"Dia merencanakan tempat duduk, memilih yang terhindar CCTV. Hingga akhirnya memesan Vic satu gelas tanpa makanan pendamping," Binsar menandaskan.


Motif Pembunuhan

Terdakwa Jessica Kumala Wongso mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/10). Terdakwa Jessica tengah jalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Dari 32 kali persidangan, majelis hakim sidang kopi sianida menyatakan Jessica bersalah membunuh sahabatnya Mirna Salihin. Jessica juga terbukti secara berencana menghabisi nyawa Mirna dengan racun sianida.

Lalu apa motif pembunuhan berdarah dingin tersebut?

"Majelis hakim berkesimpulan ada motif terdakwa sakit hati, dendam, dalam kasus ini," ujar Binsar.

Menurut Binsar, sakit hati Jessica berawal dari sikap Mirna yang tidak memberikan dukungan atas hubungan terdakwa dengan sang pacar kala itu, Patrick.

Berdasarkan pemeriksaan psikolog dan psikiatri di persidangan, Jessica memiliki potensi melukai diri sendiri dan orang lain, ketika tak mendapat dukungan dari sosok yang dianggap mampu memberinya bantuan.

Para ahli yang dihadirkan jaksa juga sepakat ada ketidakstabilan emosi dalam diri Jessica, sehingga dapat melukai diri sendiri dan orang lain.

Rasa sakit hatinya diperparah saat melihat kemesraan Mirna dan Arief Setiawan Soemarko pada 8 Desember 2015. Jessica yang tengah dibelit sejumlah masalah di Australia, sakit hati melihat kemesraan pasangan suami istri muda itu, ketika makan bersama di Restoran Bumbu Den, Kelapa Gading.

"Kemesraan Mirna dan Arief membuat hati Jessica tersayat-sayat. Sementara dia membawa persoalan yang berat dari Australia dan ingin melupakan persoalan," kata Binsar.

Majelis hakim juga berpendapat kedatangan Jessica ke Indonesia bukan karena ingin berlibur. Mereka percaya, Jessica datang untuk melupakan masalah hukum, percintaan, dan pertemanan yang menderanya. Hal itu diperkuat dengan keterangan saksi.

"Korban Mirna menanyakan, 'ngapain datang ke Jakarta?' Jessica bilang sedang liburan dan cari kerja apabila ada pekerjaan yang cocok. Hal ini membuktikan terdakwa ke Indonesia bukan semata-mata holiday (liburan), tapi ingin menetap di Indonesia karena ingin meninggalkan masalah di Australia," Binsar memaparkan.

Oleh karena itu, lanjut Binsar, motif dalam unsur 'dengan sengaja' pada Pasal 340 KUHP dalam kasus pembunuhan Mirna terbukti.


Pembunuhan Berencana

Meski hakim telah memvonis Jessica dengan hukuman 20 tahun penjara, luka hati Arief belum terobati.

Hakim Binsar menyatakan ada unsur kesengajaan dalam perkara pembunuhan ini. Di antaranya karena sudah ada rasa sakit hati dan dendam Jessica kepada Mirna.

"Setelah ada pertemuan di Kelapa Gading pada 8 Desember 2015, terdakwa Jessica minta Mirna bikin grup WA (WhatsApp) yang berisikan empat orang, yakni Hanie, Vera, Mirna, dan Jessica. Dari grup itulah akhirnya terdakwa dengan korban Mirna janjian bertemu pada 6 Januari 2016 di Kafe Olivier," ujar Binsar.

Menurut Binsar, pada 6 Januari 2016 sekitar pukul 12.00 WIB, Jessica dalam grup WA menyatakan akan mentraktir Mirna dengan memberikan pilihan menu Kafe Olivier. Dari percakapan di grup, Mirna Salihin mengaku suka minum es kopi Vietnam dan Jessica pun berinisiatif memesankan untuk temannya itu.

"Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa sengaja datang lebih dulu ke Olivier pada pukul 15.30, langsung memesan tempat duduk untuk empat orang di area tidak merokok. Lalu terdakwa melakukan observasi melihat-lihat lokasi yang jauh dari pandangan CCTV. Kemudian terdakwa membeli sabun cuci tangan dan membawa tiga paper bag langsung membawanya untuk menutupi gelas kopi," ungkap Binsar.

Untuk memuluskan dendam dan sakit hatinya, lanjut Binsar, Jessica sengaja hanya memesan satu gelas kopi untuk Mirna. "Anehnya terdakwa memesan dua jenis minuman beralkohol tinggi untuk pria dan langsung meminumnya habis, dan melakukan close bill untuk mempermudah terdakwa langsung meninggalkan tempat kejadian," kata Binsar.

Menurut hati nurani hakim, Binsar menyatakan, Jessica sangat mengetahui isi kopi karena menguasainya selama sekitar 51 menit. "Itu makanya Jessica gelisah kalau korban tidak datang, karena pastilah rencana jahat Jessica akan berantakan. Saat korban meminum kopi, terdakwa terlihat di CCTV menutup mulutnya seakan kaget."

Lalu, tutur Binsar, terdakwa berkali-kali mengirimkan SMS ke Sandy Salihin, kembaran Mirna, untuk menanyakan hasil laboratorium forensik lambung Mirna.

"Ini membuktikan terdakwa merencanakan meracuni Mirna. Petunjuk ini ada unsur sengaja terdakwa mematikan korban Mirna," tegas Binsar.


Lonceng Kematian

Kuasa hukum Jessica Kumala Wongso memberi semangat kepada Jessica usai sidang vonis di PN Jakpus, Kamis (27/10). Kuasa hukum Jessica akan mengajukan banding atas keputusan hakim yang memvonis Jessica 20 tahun penjara. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Jessica tak terima dengan putusan yang diketuk hakim. Melalui pengacaranya, Otto Hasibuan, menganggap vonis itu bak lonceng kematian keadilan.

"Kami menganggap putusan hakim ini tidak adil dan tidak berdasarkan hukum. Kami melihat ada lonceng kematian keadilan di pengadilan," ujar Otto.

Otto pun memutuskan untuk mengajukan banding atas vonis 20 tahun tersebut. "Atas keputusan yang tidak adil ini, kami menyatakan banding," ujar dia.

Sementara, Jessica tampak lesu mendengarkan putusan tersebut. Namun dia berusaha tegar. Tak lama dia langsung menuju tempat duduk tim kuasa hukumnya. Otto memegang kedua pundak kliennya itu.

Beberapa kali Otto membisikkan kata-kata ke telinga Jessica untuk menenangkan perempuan 28 tahun itu. Beberapa kali Otto menepuk-nepuk pundak kliennya sambil mengucapkan sesuatu.

Vonis hakim ini langsung disambut tepuk tangan kegembiraan dari keluarga Mirna Salihin. Mereka bersorak mengungkapkan kegembiraan.

Polda Metro Jaya menilai, apa yang diputuskan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah sesuai aturan yang ada.

"Kan kita bisa lihat, hakim sudah bekerja secara profesional, masyarakat juga bisa lihat langsung. Kan, siaran langsung setiap sidangnya," ujar Kepala Bagian Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono, kepada Liputan6.com, Kamis 27 Oktober 2016.

Awi menjelaskan, selama penyidikan hingga berkasnya P21 atau lengkap, polisi sudah bekerja maksimal. Mulai dari mencari barang bukti, pemenuhan alat bukti, hingga keterangan para ahli. Sampai pada akhirnya semua berkas itu diterima Kejaksaan dan disidangkan.

"Dari lima bukti, kita sudah penuhi. Putusan itu, sudah profesional karena hakim bekerja dengan baik dalam mencari kebenaran, yah sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada," tutur dia.

Menurut Awi, hukuman tersebut sudah maksimal, berikut dengan alat bukti yang dimiliki polisi yang diserahkan ke jaksa.

"Penyidik sudah maksimal mengonstruksikan hukum terkait kasus Jessica ini dengan mengumpulkan alat bukti. Sudah empat alat bukti yang disampaikan ke JPU (Jaksa Penuntut Umum). JPU melakukan pengajuan dakwaannya sudah profesional jadi sudah sewajarnya mendapatkan keputusan itu," kata dia.

Jessica mengajukan banding atas vonis hakim. Namun, sidang di tingkat Pengadilan Tinggi akan jauh dari sorot kamera dan hingar bingar debat para pakar hukum.

Apakah Jessica akan diringankan atau makin berat hukumannya dalam upaya hukum selanjutnya?

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya