Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melihat bahwa pelemahan rupiah telah terhenti dalam beberapa hari terakhir. Bagi beberapa industri, penguatan nilai tukar rupiah ini justru tidak menguntungkan.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan, usai kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), nilai tukar rupiah memang melemah. Namun pelemahan rupiah tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya.
Jika dihitung dari awal tahun hingga saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih mampu menguat sekitar 4 persen. Sedangkan China, jika dihitung untuk periode yang sama, telah melemah 7 persen. Ia melanjutkan, bahkan dalam dua hari terakhir, rupiah telah kembali ke kisaran awal sebelum Trump memenangkan pemilihan presiden.
"Sebelumnya sempat sampai 13.500 per dolar AS, sekarang sudah recovery ke 13.300 per dolar AS lagi." jelas dia seperti ditulis Jumat (9/12/2016).
Baca Juga
Advertisement
Mirza melanjutkan, selama ini banyak orang selalu memandang bahwa penguatan rupiah adalah hal yang positif atau baik. Padahal, sebenarnya bagi beberapa industri, penguatan rupiah justru membuat industri tersebut tak mampu bersaing.
Ia mencontohkan, bagi industri manufaktur yang produknya juga dibuat di China, penguatan rupiah justru membebani mereka. Alasannya, produk mereka harus bersaing dengan produk China yang harganya lebih murah karena nilai tukarnya melemah.
Mirza juga setuju dengan pernyataan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta agar perekonomian Indonesia tidak dilihat hanya dari sisi nilai tukar saja. "Perdagangan Indonesia tidak hanya dengan Amerika," jelas dia.
Sebelumnya pada 6 Desember 2016, Jokowi menegaskan bahwa mata uang rupiah dan dolar AS bukanlah tolok ukur yang tepat untuk mengukur perekonomian Indonesia. Paling pas, membandingkan rupiah dengan mata uang negara-negara mitra dagang terbesar Indonesia, seperti Jepang, Tiongkok, Eropa, dan negara lainnya.
"Bertahun-tahun selalu melihatnya rupiah dan dolar. Tapi kurs rupiah-dolar AS bukan tolok ukur yang tepat. Kurs yang relevan melawan rupiah yakni dengan mata uang mitra dagang terbesar kita. Jadi penting mengedukasi ke publik jangan pantau kurs mereka terhadap dolar AS semata, tapi harus ada patokan yang punya komprehensif," tandas Jokowi. (Gdn/Ndw)