Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) siap merevisi Undang-Undang Anti Terorisme Nomor 15 tahun 2003. Pengamat dari Imparsial menilai ada sejumlah persoalan dalam revisi UU tersebut mengancam kerusakan mekanisme hukum. Salah satunya dengan melibatkan militer dalam revisi itu.
"Militer kan alat pertahanan negara, tidak perlu diatur dalam UU 15 tahun 2003 ini. Karena undang-undang ini mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dalam sudut sistem penegakan hukumnya," kata Direktur Imparsial Al Araf mewakili koalisi masyarakat sipil, di Hotel Ibis, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis 8 Desember 2016.
Advertisement
Menurut dia, militer hanya dapat dilibatkan dalam kondisi tertentu terkait penanganan terorisme. Hal itu tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU Nomor 34 tahun 2004.
"Militer terlibat (pemberantasan terorisme) saat institusi sipil penegak hukum tidak bisa lagi mengatasi. Contohnya terjadi di Suriah di mana ISIS menguasai wilayah mengancam kedaulatan barulah militer turun," terang Araf.
Dia mengkhawatirkan sejumlah hal jika ada keterlibatan militer dalam penanganan terorisme. Terlebih, soal pemenuhan hak asasi terduga teroris itu.
"Melibatkan militer dikhawatirkan dapat terjadi hal seperti di Guantanamo Camp melahirkan kondisi militer melebihi wewenang polisi dan penegakan hukum, menangguhkan perintah konstitusi terkait perlindungan HAM tersangka terorisme secara manusawi," tukas Araf.