Liputan6.com, Yogyakarta - Gempa besar di Pidie Jaya Aceh menjadi kesempatan bagi para saintis gempa untuk memetakan dan menggali informasi bagi pengetahuan. Gempa ini harus dimanfaatkan untuk merekam informasi sebanyak-banyaknya.
Peneliti gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Subagyo mengatakan, Indonesia tidak banyak memiliki catatan gempa yang terekam. Maka itu, gempa Aceh menjadi kesempatan bagi para saintis gempa untuk meneliti dan merekam informasi sebanyak-banyaknya. Para peneliti gempa hanya memiliki waktu seminggu untuk merekam semua data yang ada di lapangan.
"Meneliti itu seminggu waktu kita, mulai hari ini hingga seminggu kemudian. Ini masa emas. Kami memperoleh data bagus. Kalau lewat dari itu, banyak kehilangan data," ujar Subagyo, Rabu, 7 Desember 2016.
Subagyo mengatakan para saintis gempa harus memanfaatkan waktu emas ini dengan sebaik-baiknya. Jika tidak segera merekam, data di lapangan akan segera hilang. Hal ini berkenaan dengan rehabilitasi dan rekondisi yang dilakukan pemerintah setempat.
"Untuk riset, lebih awal itu lebih fresh datanya. Fase rehabilitasi itu kan nanti bisa bikin hilang," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Subagyo mengatakan, dalam tahap awal usai gempa akan terlihat adanya retakan di beberapa titik yang dapat direkam. Dengan begitu, dapat dipetakan luasan dampak gempa Aceh itu.
"Retakan itu macam-macam. Kan ada jalan yang terbelah, nah kita tidak tahu apakah di sebelahnya atau kanannya ada lembah. Kalau ada bentuk lembah, kan kalau digoyang ini jadi turun-turun gini, jadi tidak harus patahan," ujar Subagyo.
UGM, menurut Subagyo, termasuk yang sering kali mengirimkan tim ke daerah bencana. Tim yang biasa dikirim adalah tim dari saintis juga dari sisi responsif kemanusiaan. Namun begitu, pihaknya akan menunggu perintah dari rektorat siapa saja yang akan diberangkatkan ke Aceh.
"UGM penginya berangkat, nunggu dari tim pusat. Kami tidak ingin berangkat ke sana terus sendiri-sendiri. Kita satu tim agar komprehensif," kata dia.