Liputan6.com, Pekanbaru - Kisah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tak hanya terjadi di Belitung. Di sebuah desa terpencil di pedalaman Bengkalis, Provinsi Riau, ada kisah serupa yang tak kalah perjuangannya.
Hujan deras diiringi petir dan angin kencang pada Minggu malam, 4 Desember 2016, menerbitkan gusar di benar Elra Satiwi. Ia mencemaskan perjalanan sepanjang 15 kilometer menuju SD 026 tempatnya mengajar dengan menggunakan motor lamanya.
Kegusaran itu hilang seketika saat mengingat wajah para siswa yang selalu menyambutnya dengan semangat. Keesokan paginya, ia langsung menghidupkan motor menuju sekolah berdinding kayu di Desa Sidodadi, Kelurahan Bukit Kerikil, Kabupaten Bengkalis.
Tak jarang, ia terjatuh karena tanah kuning yang biasa dilewati berubah jadi kubangan lumpur setelah diguyur hujan. Perjalanan itu ditempuh Tiwi, panggilan akrabnya, selama setengah jam.
"Wah banjir lagi," ucap Tiwi begitu sampai di halaman SDN Negeri Jauh 062 dengan sambutan wajah sumringah para muridnya yang mengira dirinya tak datang.
"Yuk masuk ke ruangan, lepas sepatunya, mari belajar," ajak guru honorer yang sudah mengabdi hampir tiga tahun itu di sekolah tersebut.
Beberapa jam menimba ilmu, para siswa pun pulang ke rumahnya dengan menjinjing sepatu. Pasalnya, halaman sekolah hingga jalan pulang becek dan tergenang air, ditampah lumpur.
Berstatus honorer, Tiwi dibayar Rp 50 ribu per siswa per bulan. Uang itu digunakan untuk membiayai bahan bakar minyak (BBM) sepeda motornya pulang balik dari kontrakan ke sekolahnya.
"Dalam sebulan terkumpul Rp 450 ribu dari sumbangan orangtua murid. Perjalanan saya dari rumah ke sekolah, per harinya 30 kilometer. Memang tidak cukup, tapi harus diterima demi murid-murid menimba ilmu," kata Tiwi, Senin, 5 Desember 2016.
Baca Juga
Advertisement
Dia menyebutkan, kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Hampir seluruh bangunan terbut dari kayu berlantai tanah. Dia pun mengajar seluruh kelas yang ada secara bergantian.
"Di sini ada 10 murid TK, tujuh murid kelas 1 SD, dan sembilan murid untuk kelas 4 SD. Kelas lainnya belum ada karena baru beberapa tahun didirikan," ucap Tiwi.
Beberapa tahun mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa, akhirnya Tiwi mendapat bantuan juga dari seorang guru lainnya yang nekat bersentuhan dengan pendapatan rendah, dibanding mengajar ke tempat yang menjanjikan.
"Baru tahun 2016 ini ada seorang guru honorer lagi yang coba membantu, yaitu ibu Nur Hasanah," ungkap Tiwi.
Pantauan di lapangan, bangunan sekolah hanya ada dua ruang belajar. Murid TK dan SD belajar secara bergantian. Menuju sekolah, jalannya selalu banjir jika musim hujan dan berdebu di kala kemarau panjang menghampiri.
Menuju sekolah, warga membentangkan beberapa kayu untuk dititi murid jikalau jalan digenangi air. "Kalau musim hujan sekarang, dibuat kayu untuk dititi para murid," kata dia.
Urunan Orangtua Siswa
Dia menyebutkan, sekolah ini didirikan atas rembukan para orangtua siswa di desa tersebut. Kemudian, sekolah ini dijadikan cabang dari SDN 062 yang berada di perkotaan.
Ada sekitar 40 kepala keluarga di sana dan secara sadar menyumbang untuk membangun 'gubuk' pendidikan itu dan mengganti uang bensin guru. Warga juga membuat bangku, meja, papan tulis dan sarana penunjang lainnya.
Sekolah induk bukannya tidak memberikan prasarana dan sarana penunjang. Hanya saja, menurut Tiwi, meja dan kursi buatan warga setempat lebih tahan daripada sarana yang diadakan melalui tender atau proyek.
"Ada sih dibantu meja dan kursi, tapi baru saja dipakai, ada yang patah. Makanya buatan warga saja yang digunakan," kata dia.
Kondisi ini mendapat sorotan dari anggota Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (Petani) Sahat Mengapul. Pria yang mendirikan cabang unit lapangan Laboratorium Kedaulatan Pangan Agribisnis Kerakyatan (KPAK) itu miris melihat ada sekolah dengan kondisi tersebut di Kabupaten Bengkalis.
"Seperti diketahui, APBD Bengkalis termasuk 10 besar di Indonesia dengan penggangaran 20 persen untuk pendidikan. Kenapa bisa ada sekolah tanpa perhatian pemerintah seperti ini?" kata Sahat.
"Tapi inilah fakta yang saya lihat di sebuah sekolah Kabupaten Bengkalis ini," kata pria yang berada di lokasi itu untuk membuat pupuk organik dengan bahan kearifan lokal yang bertujuan meninggalkan ketergantungan pupuk kimia di Kampung Sidodadi.
Dengan niat yang baik dan jaringan yang ada, Sahat berjanji mencari jalan keluar dan menemui UPTD pendidikan tingkat kecamatan. Dia juga berjanji membicarakan kondisi ini ke Dinas Pendidikan di Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau.
"Bahkan saya kalau perlu akan menyampaikan ke Staf Presiden di Jakarta agar ada kepedulian untuk sekolah ini. Tujuannya agar hak-hak dasar rakyat mendapatkan pendidikan berkualitas, negara harus menjalankan tugas dan fungsinya," ucap Sahat.
Selain itu, dia menyebut kondisi ini sebagai potret tidak kepedulian salah satu perusahaan bubur kertas terbesar di Asia yang berada di kecamatan tersebut. "500 meter dari sekolah ini ada koorporasi besar Hutan Tanaman Industri pemasok pabrik kertas ke Sinar Mas Group, tapi kita menemukan kondisi pendidikan seperti ini," keluh dia.
Dia menyebut kondisi ini sebagai ketimpangan dan sangat sangat mengecewakan, di mana sekolah ini berada di Kabupaten dengan APBD besar dan disampingnya sebuah koorporasi. "Ada Sinar Mas Group yang kita tahu menguasai lahan yang sangat luar biasa luas di lokasi ini," kata Sahat.
Dia berharap ada pihak, baik pemerintah dan swasta peduli terhadap kecerdasan dan generasi penerus bangsa. Dia pun ingin sekolah mempunyai bangunan memadai dan honor yang bisa menghidupi guru yang mengabdikan diri.
Advertisement