Tatapan Tegar Aliya, Korban Tsunami yang Diguncang Gempa Aceh

Aliya menatap tegar saat puing-puing kompleks ruko yang dipindahkan ekskavator. Ayah dan 2 saudaranya disapu tsunami 12 tahun lalu.

oleh Muslim AR diperbarui 10 Des 2016, 07:10 WIB
Seorang bocah berjalan melewati sebuah masjid yang rusak usai gempa di Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/11). Selain meruntuhkan bangunan, gempa bumi berkuatan 6,4 SR ini telah menelan banyak korban jiwa. (AFP PHOTO / Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta Beberapa kali Aceh dihantam bencana besar. Mulai dari tsunami pada 2004 lalu dan kini gempa kembali mengguncang Negeri Serambi Mekah. Pernah menghadapi bencana dahsyat, membuat warga di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, tabah dan ikhlas menghadapi gempa yang kembali mengguncang tanah mereka pada Rabu 7 Desember lalu.

Aliya misalnya. Perempuan 24 tahun yang merupakan warga Meureudu, Pidie Jaya, ini kehilangan ayah dan dua saudaranya saat tsunami 12 tahun lalu.

"Sekarang tinggal bersama umi dan nenek," kata Aliya memulai percakapan dengan Liputan6.com di samping reruntuhan komplek Pasar Meureudu, Sabtu (10/12/2016).

Aliya menatap tegar saat puing-puing kompleks ruko dipindahkan ekskavator ke dalam bak truk. Pada gempa kali ini, semua anggota keluarga Aliya selamat. Namun, gadis itu bosan berada di pengungsian dan memilih melihat proses evakuasi.

"Saya, umi, dan nenek selamat semua, cuma rumah, dapurnya runtuh, dalamnya retak," kata Aliya.

Meski pernah diterjang tsunami, saat menceritakan kisahnya lagi Aliya terlihat tenang. Tak terbersit bekas luka, meski dua saudara dan ayahnya hingga saat ini tak diketahui nasibnya, apakah disapu tsunami dan selamat, atau sudah terkubur bersama korban lainnya.

"Kami tak tahu ayah, kakak, dan adik di mana, tapi kami biasanya keliling ke kuburan-kuburan massal untuk berziarah," kata Aliya.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi atau Kak Seto mengungkapkan, ratusan bahkan ribuan anak-anak yang dulunya adalah korban bencana gempa dan tsunami 12 tahun lalu, sudah dewasa. Namun, bukan berarti mereka lepas dari trauma.

"Beberapa kami memang monitor (anak-anak yang dulu juga trauma saat tsunami). Beberapa di antara mereka sudah lebih tahan banting," kata Kak Seto kepada Liputan6.com di pelataran Masjid At-Taqarrub, Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh.

Guna memulihkan trauma mereka, Kak Seto mengatakan, korban harus diberikan trauma healing yakni bantuan kedua paling penting setelah kesehatan fisik dan penyelamatan korban luka. Menurut Kak Seto, jika trauma tak cepat diobati, orang-orang seperti Aliya akan menjadi langka.

Jika bantuan trauma healing terlambat diberikan, kita akan temukan generasi Aceh dalam kondisi labil, depresi, dan Aceh menjadi daerah yang tak bergairah.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya