Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diingatkan untuk lebih jeli dalam menerapkan rencana penggantian skema bagi hasil produksi minyak dan gas (migas) dari regular menjadi mekanisme gross split.
Direktur Eksekutif RefoMiner Energy Komaidi Notonegoro mengatakan, skema bagi hasil produksi migas dengan mekanisme gross split dapat mengurangi beban negara atas pengembalian biaya operasi hulu migas (cost recovery), yang selama ini menjadi permaslahan.
Advertisement
"Memang Pemerintah tidak perlu ribut cost recovery dengan DPR," kata Komaidi, dalam sebuah diskusi, di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (10/12/2016).
Menurut Komaidi, sebelum skema bagi hasil tersebut diterapkan, sebaiknya pemerintah memikirkan konsekuensinya, karena tidak ada jaminan penerimaan negara dari hasil produksi migas mendapat porsi yang lebih besar.
"Tapi ada kosnekuensinya, tidak ada jaminan penerimaan negara jauh lebih besar," ungkap Komadi.
Karena itu, Komaidi mengingatkan pemerintah untuk lebih jeli meninjau segala aspek, sebelum skema bagi hasil produksi migas dengan mekanisme gross split tersebut diterapkan.
"Sebaiknya, lihatnya secara holistik, bukan secara parsial," tutup Komaidi.
Pemerintah berencana mengubah skema bagi hasil dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang menggarap blok minyak dan gas bumi (migas) baru dengan mekanisme gross split.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, perubahan skema bagi hasil tersebut untuk menghindari cost recovery.
"Memang ke depan gini. kita akan coba berusaha untuk kkks ke depan adalah gross split jadi sudah tidak ribut lagi terkait cost recovery," tutur Jonan, beberapa waktu lalu.
Menurut Jonan, dengan diubahnya skema bagi hasil tersebut maka cost recovery tidak dianggarkan lagi di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga segala pengeluaran KKKS tidak diganti negara lagi.
"Jadi kalau sudah gross split APBN nggak terbebani, terserah aja mereka mau kerja naik sepeda ato becak kek mau naik apa yang penting beres pas itungan gross split nya," tutup Jonan.