Liputan6.com, Jakarta Wuhan University yang disingkat Wuda dalam bahasa sehari-hari di sini merupakan salah satu dari banyak kampus di Propinsi Hubei, Tiongkok Tengah. Bangunannya yang megah merupakan penggabungan antara arsitektur Barat dan Tiongkok kuno, ini terlihat jelas pada desain atapnya.
Kali ini saya kesana bukan untuk melihat sakuranya seperti tahun lalu, toh musim dingin saja belum berakhir. Tapi saya kesana bersama Pasukan Rapa’i Geleng untuk membantu memeriahkan pentas “International Culture Festival”.
Advertisement
Sama halnya dengan beberapa kampus lain di Tiongkok, pasti setiap tahunnya acara ini diselenggarakan dengan menghadirkan seluruh seni, budaya serta kekhasan yang dimiliki dari berbagai penjuru negara yang mahasiswanya belajar di kampus tersebut.
Wuda menjadi salah satu kampus di Kota Wuhan yang menyelenggarakan festival semacam ini selain Central China Normal University, Wuhan University of Technology, dan lainnya. Kebetulan, tahun ini ada mahasiswa kita di sana butuh tim tari, kami pun bersedia bersama membantu.
Sayangnya, tahun sebelumnya tak ada perform apapun yang bisa mahasiswa Wuda tampilkan di pentas berdasarkan keterangan yang disampaikan Marsha. Marsha juga mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Wuda dan ini menjadi tahun kedua baginya. Sehingga, Rapa’i Geleng menjadi seni pembuka untuk pertama kalinya di Wuda mewakili Indonesia.
Sebab, biasanya jika ada festival seperti ini mahasiswa Indonesia di Wuda cuma bisa ekspos tanah air di stand saja. Padahal ini adalah peluang besar untuk memperkenal Indonesia di ajang internasional. Tapi apalah boleh buat, organisasi mahasiswa Indonesia yang ada di Wuhan pun tampaknya tidak mengorganisir dengan baik.
Sedang kegiatan Rapa’i Geleng ini sendiri berada di bawah kelola komunitas mahasiswa Aceh-Tiongkok yaitu “Cakradonya Community”. Kendati demikian, saya tetap berkoordinasi dengan organisasi mahasiswa Indonesia-Wuhan mewakili tim untuk menghindari adanya miscommunication.
Sejak dari tahun berdirinya, kami di bawah naungan Cakradonya Community sudah menyiapkan beberapa seni daerah yang siap untuk dipertunjukkan sekira dibutuhkan.
Alhamdulillahnya, Tari Meuseukat tahun lalu dan Rapa’i Geleng tahun ini berhasil ditampilkan walaupun dengan waktu latihan yang sangat singkat, kurangnya instrumen, dan kendala jarak satu sama lainnya yang berbeda kampus.
Seperti tahun-tahun lalu, kesempatan culture festival yang diadakan setiap tahun membuat kami berfikir keras untuk mempersiapkan tampilan memukau mewakili bangsa. Berhubung banyak tampilan seni tanah air belum siap untuk di tampilkan, akhirnya saya memantapkan untuk merekrut anggota membuat barisan Rapa’i Geleng.
Pasalnya, ini adalah jenis tarian yang sangat saya gemari ketika kanak-kanak. Awalnya saya benar-benar terkendala dengan pemain, banyak pemain tidak bersedia ikut serta dengan alasan tidak memiliki bakat seni dan tahu kalau Rapa’i Geleng adalah jenis tarian yang tergolong sulit.
Syukurnya, saya coba meyakinkan dengan bantuan dua orang yang sudah pengalaman di seni akhirnya kami mantap tampil. Alhamdulillah tidak sia-sia, hasilnya memuaskan. Betapa tidak, bayangkan saja kami yang awalnya tidak memiliki pengetahuan dasar sama sekali pada akhirnya bisa memainkannya. Sebelumnya, kami menjalani sesi seleksi beserta negara lainnya pada empat hari sebelum hari puncak acara dilaksanakan.
Ada perasaan bangga dan bahagia saat bisa menampilkannya di negeri orang dalam keramaian tatapan dan mengabarkan pada dunia apa yang negara saya punya. Menggiring penonton untuk masuk ke dalam nuansa tradisional sembari memperkenalkan seni dan budaya tanah air.
Hanya perform asal negeri kita yang berbeda dengan negara lain yang dominannya modern dance, drama, seni bela diri, lip sync, dan menggunakan background music.
Sedang kita memainkan musik secara langsung dan bermain dengan pola duduk. Ini tentu menjadi hal yang unik yang mereka pernah lihat. Tarian kita pun terpilih untuk ditampilkan di website kampus Wuda sebagai tarian yang sangat khas. Hanya dua dari berapa puluhan jenis tari yang terpilih yaitu tarian asal India dan Indonesia.
Acara-acara seperti ini juga menjadi hal yang sangat digemari karena bisa merasakan makanan khas tiap negara di stand-nya, tampilan budayanya, kostumnya, pernak-pernik, gaya hidup, dan lain sebagainya. “Yidai Yilu Yijiaren” yang berarti “One Belt, One Road, One Family” menjadi tema yang dipilih Wuda kali ini. Acara ini berlangsung selama dua hari yaitu sabtu (19/11) dan minggu (20/11) kemarin. Di hari pertama acara ini berlangsung dari pagi hingga petang, sedang hari kedua hanya sampai siang saja.
Banyak orang suka dengan budaya kita yang khas, salah satunya adalah seorang dosen asal Wuda yang tidak sempat saya tanya namanya. Beliau penasaran dengan Rapa’i Geleng dan bertanya butuh waktu berapa lama belajar tarian seperti ini seraya mengajak foto.
Indonesia sangat kaya akan seni dan budaya, sudah sepatutnya kita generasi muda meneruskan dan mengembangkannya. Setelah dari tahun ke tahun kami cuma bisa menampilkan Tari Meuseukat, kali ini alhamdulillah sesuai dengan plan saya tahun lalu akhirnya Rapa’i Geleng dapat pentas.
Ini berkat bantuan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang saya ajak untuk ikut berpatisipasi. Mereka adalah Alfri Sinulingga asal Medan, Hasfi Fajrian Nurly asal Bogor, Muhammad Arief Zuliyan asal Yogyakarta, dan Wildan Nabil Afkar asal Magelang. Sedangkan dari Aceh sendiri ada saya, Fadil, Helmi Suardi, Iza, dan Mulia Mardi. Sungguh tanpa mereka perform kami tidak ada apa-apanya, karena kekuatan tari ini terletak pada kekompakan tim. Lumrahnya tarian Rapa’i Geleng dan Tari Meuseukat semakin ramai pemainnya semakin wah pertunjukkannya. Tanpa memungkiri, Manggeng yang dulu menjadi wilayah Aceh Selatan adalah tempat asal tarian yang kami mainkan ini.
Harapan saya, semoga tarian Rapa’i Geleng ini tidak saja berhenti ditampilkan pada acara culture festival saja tapi juga pada kesempatan lainnya. Terimakasih untuk semua anak negeri di manapun yang hari ini masih berjuang mengharumkan bangsa. Ayo para muda/i kita kenalkan Aceh dan Indonesia lewat budaya dan agama, karena kita adalah bangsa yang berketuhanan dan kaya akan budaya. Semoga kita termasuk golongan orang yang berguna bagi agama dan bangsanya. Semangat !
Penulis:
AL-ZUHRI,
Mahasiswa Magister Communication Studies di Huazhong University of Science and Technology, Wuhan, Tiongkok.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6