Diduga Menang karena Rusia, Donald Trump Balas Serang CIA

Laporan CIA menyimpulkan bahwa Rusia mengintervensi Pilpres AS untuk membantu Donald Trump menang.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 11 Des 2016, 08:00 WIB
Calon presiden terpilih AS, Donald Trump (Reuters)

Liputan6.com, Washington DC - Belum putus urusan Donald Trump dengan Pilpres Amerika Serikat 2016, meski ia tinggal selangkah lagi menuju Gedung Putih. Sebulan jelang pengambilan sumpahnya sebagai Presiden ke-45 AS pada 20 Januari 2017, miliarder nyentrik dihadapkan pada sangkaan serius: diduga ada campur tangan Rusia dalam kemenangannya.

Laporan CIA menyimpulkan bahwa Rusia mengintervensi Pilpres AS untuk membantunya menang.

Mendengar soal itu, Trump marah besar. Capres Republik tersebut mengambil langkah yang dinilai banyak pihak mengawali perselisihan dengan komunitas intelijen yang bakal ia andalkan untuk memberikan pertimbangan super-rahasia terkait potensi ancaman terbesar yang dihadapi AS. CIA selalu dimintai masukan dalam keputusan penting yang diambil Gedung Putih.

Jelas, itu situasi yang serius.

"Mereka adalah orang-orang yang sama (di CIA), yang mengatakan Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal," demikian disampaikan tim transisi Trump dalam pernyataan singkat yang tak dibubuhi tanda tangan, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (10/12/2016).

"Pilpres telah lama berakhir dalam salah satu Kemenangan Elektoral (Electoral College) terbesar dalam sejarah. Sekarang saatnya untuk bergerak dan mewujudkan, 'Make America Great Again'."

Tim transisi merujuk pada kegagalan paling memalukan dalam sejarah CIA ketika lembaga intelijen itu menyimpulkan bahwa rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal -- yang jadi alasan AS untuk menyerbu Irak.

Pimpinan CIA yang bertanggung jawab atas kegagalan memalukan yang terjadi selama pemerintahan George W Bush itu telah diganti.

Namun, komentar kubu Trump dianggap akan menimbulkan kekhawatiran komunitas intelijen tentang sikap presiden mendatang terhadap CIA.

CNN melaporkan, pekan ini Trump mendapatkan briefing atau pembekalan intelijen hanya sekali dalam sepekan. Sementara, para presiden sebelumnya lebih sering jelang pelantikan.

Sejumlah sumber yang mengetahui penyelidikan terkait dugaan peretasan oleh pihak Rusia mengatakan, komunitas intelijen AS yakin bahwa pihak Kremlin ikut campur tangan dalam Pilpres 2016, untuk mengarahkan peluang kemenangan pada Trump -- bukan hanya untuk melemahkan atau mengganggu proses politik.

Washington Post sebelumnya mengutip pejabat Amerika yang mengatakan bahwa badan-badan intelijen telah mengidentifikasi individu terkait Pemerintah Rusia yang memberi ribuan email yang diretas dari Komite Nasional Demokrat dan ketua tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta -- kepada Wikileaks.

Menanggapi kabar itu, Senat Demokrat meminta komunitas intelijen untuk menyerahkan sebanyak mungkin informasi yang relevan terkait dugaan peretasan oleh pihak Rusia kepada Kongres.

"Informasi bahwa ada negara lain yang campur tangan dalam pilpres seharusnya membuat kedua partai politik terguncang hebat," kata pemimpin Senat Demokrat Chuck Schumer.

Demokrat mengajak kubu Republik untuk meminta Kongres menggelar penyelidikan.

Sementara, Donald Trump telah berulang kali mengatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin memainkan peran jahat dalam pemilu AS.

Putin yang dinilai punya hubungan dekat dengan Trump, menjanjikan untuk memperbaiki hubungan dengan AS. 

"Saya tidak percaya itu. Saya tidak percaya mereka ikut campur," kata Trump dalam sebuah wawancara untuk edisi terbaru majalah Time,

Trump sangat peka menanggapi sangkaan bahwa dia tidak menang pemilu secara jujur. Meski tak punya bukti kuat, ia mengklaim hanya tertinggal tipis dari Hillary Clinton dalam pemilihan langsung atau popular vote gara-gara munculnya pemilih ilegal.

Sementara itu, pihak Kremlin menuntut bukti dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu yang dimenangkan Donald Trump. Moskow membantah tuduhan yang dialamatkan AS. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya