Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data World Federation of Hemophilia (WFH) ada sekitar 400 ribu penyandang hemofilia di dunia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada sekitar 20 ribu-25 ribu penyandang hemofilia. Namun, berdasarkan data Perhimpunan Hemofilia dan Transfusi Darah (PHTDI) baru 1.025 pasien yang tercatat.
Gap yang jauh antara prediksi dan penyandang hemofilia tercatat, terdiri dari beberapa faktor seperti disampaikan Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Prof. dr. Djajadiman Gatot, SpA(K).
Advertisement
"Kemungkinan penyandang hemofilia telah meninggal sebelum terdiagnosis. Misalnya saat sunat atau pendarahan terus menerus saat operasi lalu meninggal. Atau bisa jadi memang jumlahnya sedikit," kata Djajadiman dalam Forum Hemofilia di Jakarta ditulis Minggu (11/12/2016).
Dalam kesempatan yang sama hadir pula Kasubdit Pelayanan Medik dan Keperawatan Kementerian Kesehatan RI, dr. Nani H. Widodo. Ia menambahkan alasan lain mengenai jurang perbedaan tersebut mengenai kurangnya informasi dan pemahaman yang belum sama mengenai penyakit ini.
"Belum lagi pemeriksaan laboratorium yang belum optimal sehingga kasus ini belum diketahui dengan baik," kata Nani.
Hemofilia merupakan kondisi kelainan darah yang diturunkan dari ibu kepada anak saat dilahirkan. Kondisi ini membuat darah tidak dapat membeku dengan sendiirnya secara normal. Proses pembukan darah pada pasien ini berjalan lambat dan berjumlah sedikit dibanding orang normal. Sebagian besar kasus hemofilia terjadi pada pria.
Hemofilia sendiri terdiri dari dua jenis yakni hemofilia A dan B. Hemofilia A adalah keterlambatan proses pembekuan darah karena kekurangan Faktor VIII protein dalam darah. Sememntara Hemofilia B adalah kekurangan Faktor IX protein dalam darah. Pengobatan dan perawatan hemofilia dilakukan seumur hidup.
Meski begitu, usia hidup orang dengan hemofilia juga bisa panjang. Menurut Ketua PHTDI, Tubagus Djumhana, bisa mencapai lebih dari 50 tahun.