Liputan6.com, New York - Jelang pelantikannya pada 20 Januari 2017 mendatang, Presiden ke-45 Amerika Serikat terpilih, Donald Trump sedang sibuk memilih anggota kabinetnya. Sejumlah orang dipanggil menghadap, salah satunya CEO Exxon Mobil, Rex Tillerson.
Spekulasi yang berkembang menyebut, nama Tillerson dipertimbangkan untuk mengisi posisi Menteri Luar Negeri AS.
Advertisement
Seperti dikutip dari BBC, Minggu (11/12/2016), sumber NBC News yang dekat dengan Trump mengatakan, nama Tillerson mungkin akan diumumkan pekan depan sebagai calon Menlu AS.
Sementara, mantan Duta Besar AS untuk PBB, John Bolton akan didaulat menjadi Wamenlu.
Sebenarnya, ada nama lain selain Tillerson yang disebut-sebut menjadi calon Menlu AS. Salah satunya, politisi senior Partai Republik, Mitt Romney.
Juga mantan Wali Kota New York Rudy Giuliani yang memilih menarik diri dari peluangnya menduduki jabatan Menlu.
Urusan bisnis Giuliani di luar negeri menimbulkan tanda tanya besar mengenai kesesuaiannya menduduki jabatan tersebut.
Sementara, Tillerson yang kini berusia 64 tahun memiliki pengalaman yang luas dalam negosiasi internasional. Ia juga memiliki hubungan bisnis dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tillerson juga pernah melayangkan kritik terhadap sanksi internasional yang diberlakukan pasca-Rusia menganeksasi Krimea.
Sudah hitungan pekan Donald Trump mencari nama calon Menlu. Ia telah mempertimbangkan selusin kandidat, lengkap dengan latar belakang dan pandangan mereka.
Pejabat tim transisi Trump mengatakan, miliarder nyentrik itu akhirnya menjatuhkan pilihan pada Rex Tillerson, meski belum ada pengumuman resmi.
Eksekutif minyak itu tak punya pengalaman diplomatik apapun. Namun, ia melakukan bisnis dengan sejumlah pemerintah asing, termasuk Rusia, di mana ia berteman baik dengan Presiden Vladimir Putin.
Itu mengapa alasan pencalonan Rex Tillerson akan diteliti secara rinci oleh para anggota dewan.
Apalagi, belum lama ini muncul penilaian intelijen bahwa hacker Rusia bertindak diam-diam untuk mempromosikan kampanye Trump.
Atau dengan kata lain, intelijen atau dalam hal ini CIA menilai, ada Rusia di balik kemenangan Donald Trump dalam Pilpres 2016.
Sejumlah sumber yang mengetahui penyelidikan terkait dugaan peretasan oleh pihak Rusia mengatakan, komunitas intelijen AS yakin bahwa pihak Kremlin ikut campur tangan dalam Pilpres 2016, untuk mengarahkan peluang kemenangan pada Trump -- bukan hanya untuk melemahkan atau mengganggu proses politik.
Washington Post sebelumnya mengutip pejabat Amerika yang mengatakan bahwa badan-badan intelijen telah mengidentifikasi individu terkait Pemerintah Rusia yang memberi ribuan email yang diretas dari Komite Nasional Demokrat dan ketua tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta -- kepada Wikileaks.
Mendengar itu, pihak Trump tak terima. Mereka bahkan mengulik kembali 'dosa' CIA pada masa lalu di Irak.
"Mereka adalah orang-orang yang sama (di CIA), yang mengatakan Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal," demikian disampaikan tim transisi Donald Trump dalam pernyataan singkat yang tak dibubuhi tanda tangan, seperti dikutip dari CNN.