Liputan6.com, Stockholm - Hanya kurang dari satu persen limbah masyarakat Swedia yang dikirim ke tempat pembuangan Akhir (TPA) pada tahun lalu. Bahkan negara Skandinavia itu harus mengimpor sampah dari negara lain untuk menjaga sistem daur ulangnya agar tetap berjalan.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Swedia?
Advertisement
Seperti dikutip dari Independent, Minggu (11/12/2016), Swedia memiliki budaya ramah lingkungan. Negara tersebut merupakan yang pertama dalam menerapkan pajak mahal pada bahan bakar fosil pada 1991 dan saat ini hampir setengah aliran listriknya berasal dari energi terbarukan.
Masyarakat Swedia menikmati berada di tengah alam dan mereka sadar harus membalas budi dengan memperhatikan isu-isu lingkungan.
"Kami membutuhkan waktu tak sebentar untuk mengkampanyekan kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan, agar bisa didaur ulang dan digunakan kembali," kata Direktur Komunikasi Manajemen Pengolahan Limbah Avfall Sverige, Anna-Carin Gripwall.
Seiring waktu, Swedia menerapkan kebijakan daur ulang dalam skala nasional yang komperehensif.
Sampah dibakar dengan teknik khusus, diubah jadi energi yang bisa memanaskan rumah saat musim dingin.
"Di bagian selatan Eropa mereka tidak memanfaatkan panas dari pembakaran sampah. Hanya menghasilkan limbah yang keluar dari cerobong asap. Di sini kita menggunakannya sebagai pengganti bahan bakar fosil," ujar Gripwall.
Kampanye nasional "Miljönär-vänlig" yang dilakukan dalam beberapa tahun mempromosikan gagasan bahwa ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari sampah.
Masalahnya, kini Swedia kekurangan sampah dan harus mengimpor dari tempat lain.
Gripwall menjelaskan bahwa kebijakan mengimpor limbah untuk didaur ulang dari negara lain sebagai solusi sementara.
Kota-kota di Swedia berinvestasi untuk membangun teknik pengumpulan sampah futuristik, seperti sistem vakum otomatis di blok perumahan -- sehingga tak membutuhkan transportasi khusus dan petugas pengumpul sampah.
Juga ada sistem pengangkutan bawah tanah sehingga truk-truk sampah tak perlu berkeliaran di jalanan. Bau tak sedap pun berkurang.
Sementara itu di Inggris, setiap otoritas lokal memiliki cara masing-masing sehingga warga tak bisa memastikan apa yang dilakukan pada sampah-sampah yang mereka buang.
"Kami membutuhkan lebih dari strategi yang komperehensif di Inggris untuk mengumpulkan materi daur ulang, dibanding dengan pendekatan saat ini, yang diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing," kata Angus Evers.
Ia mengatakan bahwa Inggris perlu membangun infrastruktur daur ulang sehingga negara itu dapat menghentikan pengiriman sampah ke luar negeri.
"Menumbuhkan industri limbah Inggris akan menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan untuk ekonomi berbasis Inggris," ujar Ketua Eksekutif ACE UK.
Angus Evers mengatakan bahwa sistem daur ulang domestik harus menjadi strategi pengelolaan sampah mereka setelah resmi bercerai dengan Uni Eropa atau Brexit.
"Material yang saat ini kita ekspor merepresentasikan pengurasan sumber daya berharga yang dikeluarkan dari Inggris -- yang seharusnya dapat digunakan untuk membuat produk baru dan mengurangi impor bahan baku," ujar Evers.
"Jika kita memiliki cita-cita untuk mengurangi ketergantungan pada Eropa, maka kita harus lebih mandiri dan mendaur ulang lebih," imbuh dia.