Liputan6.com, Jakarta - Tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik, penghasutan berbau suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), Buni Yani menyesalkan sikap penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya yang ingin menahan dan menangkapnya pada saat pemeriksaan sebagai saksi atas kasus tersebut.
Hal ini diutarakan pengacara Buni Yani, Aldwin Rahadian pada saat membacakan perkara permohonan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (13/12/2016). Menurut Aldwin, awalnya Buni Yani memenuhi panggilan sebagai saksi atas kasus tersebut di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada Rabu 23 November 2016.
Advertisement
Tetapi pada malam harinya sekitar pukul 20.00 WIB usai pemeriksaan, kliennya malah disodorkan surat penangkapan. Kaget menerima surat berwarna kuning tersebut dari penyidik, lantas Buni Yani menolak menandatanganinya.
"Pemohon (Buni Yani) tidak menandatangi berita acara penangkapan," kata Aldwin.
Aldwin menganggap, sikap penyidik tersebut melanggar KUHAP dan peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2012 tentang pengawasan dan pengendalaian penanganan perkara pidana. Sebab menurutnya, penangkapan dilakukan sebelum pemohon ditetapkan sebagai tersangka.
"Sementara perkara pemohon tidak tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. Penangkapan dilakukan dengan prosedur yang dilanggar oleh penyidik. Penyidik berlaku tidak adil kepada pemohon," terang Aldwin.
Sebelumnya, gugatan praperadilan tersebut ditujukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) cq Kapolda Metro Jaya, dan Dirkrimsus Polda Metro Jaya dengan nomor registrasi 147/Pid.Prap/2016 PN Jakarta Selatan.
Buni Yani melayangkan gugatan praperadilan terhadap Kapolri lantaran permasalahan penetapan status tersangka atas kasus dugaan penyebaran informasi yang mengundang provokasi dan berbau SARA.
Dia dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan hukuman di atas enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.