Liputan6.com, Bantul - Yogyakarta memiliki pengalaman gempa hebat pada 2006. Gempa itu membuat bangunan dan rumah warga sebagian besar hancur. Bahkan di Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul, 80 persen rumah mengalami rusak berat dan rata dengan tanah.
Namun, bencana itu tidak memakan korban jiwa di wilayah itu. Hal inilah yang membuat salah satu warga di Desa Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul, Giyanto (37), dan tujuh rekannya yang tergabung dalam Komunitas Relawan Tanggap Jogja membuat alat sensor gempa.
Baca Juga
Advertisement
Dia membuat alat sensor gempa dengan nama Otok-Otok yang berbahan pipa paralon, senar kawat Neklin (biasa digunakan untuk memancing), sekrup, bandul lot tukang bangunan, alarm bel rumah, klem alumunium, dan alumunium bekas minuman kaleng.
Biayanya tidak mahal. Dia dan rekannya hanya membutuhkan biaya Rp 50 ribu untuk membuat satu unit Otok-Otok.
"Ini namanya Otok-Otok. Biar lebih mudah orang sini mengenal namanya. Kalau diberi nama EWS (Early Warning System) kan tidak tahu mereka, walaupun fungsinya sama. Harganya murah kalau bisa barang bekas tidak sampai 50 ribu," ujar Giyanto di rumahnya Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul, Sabtu (10/12/2016).
Giyanto menceritakan awal mula dia membuat alat sensor gempa yang murah ini. Semua bermula saat dia dan tujuh rekannya menjadi relawan. Mereka melihat alat sensor kegempaan di Gunung Merapi tahun 2010. Mereka kemudian mengamati alat sensor gempa tersebut dan memahami cara kerja alat itu.
"Berawal dari melihat. Terus kepikiran kalau ada alat seperti ini, setiap kali ada gempa warga di dusun saya yang tidur pun pasti tahu, soalnya ada alarmnya. Kita lalu berpikir untuk membuatnya," kata bapak dua anak ini.
Memang tidak mudah untuk menciptakan alat sensor gempa. Giyanto beberapa kali gagal menjadikan alat itu benar-benar berfungsi. Setelah jadi, dia melakukan beberapa simulasi untuk memastikan alat tersebut berfungsi dengan baik ketika terjadi getaran.
"Kita berkali-kali gagal karena belum pas ukuran panjang peralon dan diameter besarnya. Tapi ya kegagalan itu tidak membuat kita berhenti," kata dia.
Cara Membuat Otok-Otok Sendiri
Giyanto mengatakan semua orang bisa membuat alat sensor gempa Otok-Otok. Pertama, siapkan pipa paralon dengan diameter 1 1/2 inci, lalu dipotong dengan panjang 60 cm.
Setelah terpotong, salah satu ujung paralon dilingkari alumunium bekas minuman kaleng lalu dilem alumunium agar tidak lepas dan disekrup empat sisinya. Alumunium yang melingkar di paralon dipasangi empat sekrup ini berfungsi untuk menghantarkan listrik.
Lalu, bandul lot tukang bangunan diikat senar kawat Neklin dan dimasukkan ke dalam paralon. Posisi bandul di dalam paralon harus sejajar dengan empat sekrup di bagian bawah. Alarm bel rumah lalu disambungkan dengan senar kawat neklin yang berada di sisi atas paralon.
Kemudian, satu lagi kabel dari alarm bel rumah diikatkan dengan empat sekrup di bagian bawah. Jika ada guncangan gempa bandul di dalam paralon akan bergerak dan menyentuh empat sekrup itu dan membuat alarm bel rumah akan berbunyi.
"Disarankan alat ini dipasang di atas 2 meter atau di kerangka rumah bagian atas. Sebab kalau di atas, kecil kemungkinan getaran mobil lewat atau truk lewat akan membunyikan alarm itu," ujar Giyanto.
"Terus jangan menggunakan listrik, tetapi pakai baterai. Jadi kalau mati lampu masih tetap fungsi. Kalau alarmnya bebas, mainan anak-anak bisa, pesawat telepon bisa, alarm bel rumah bisa, asal suaranya keras biar terdengar," kata dia.
Menurut Giyanto, selain sebagai sensor gempa, Otok-Otok juga berfungsi sebagai EWS tanah longsor. Alat ini hanya ditanam di daerah yang rawan longsor. Sehingga saat ada gerakan tanah, maka alarm akan berfungsi dan membunyikan alarm tadi.
"Untuk EWS tanah longsor bisa, sudah dicoba. Tinggal ditanam saja. Kalau tanahnya nanti bergerak alat ini akan berbunyi," ucapnya.
Giyanto mengaku tidak akan mematenkan alat sederhana ini, sebab dia membuat alat tersebut bukan untuk mencari keuntungan semata. Namun, demi sesama dengan menolong memberikan peringatan jika ada gempa atau longsor.
"Tidak akan dipatenkan. Tujuan kita membantu sesama bukan untuk mencari keuntungan," ucap dia.
Saat ini pun Giyanto dan rekan-rekannya sudah memberikan pelatihan membuat sensor gempa sederhana ini kepada masyarakat sekitar. Alat buatannya sudah digunakan di beberapa daerah seperti Bantul, Sleman, hingga Purbalingga. Dia siap jika nanti ada warga Aceh yang ingin melakukan pelatihan membuat alat tersebut.
"Ya, kalau ada yang mau belajar kita siap. Kalau misalnya ada masyarakat yang daerahnya rawan gempa seperti di Aceh ingin belajar bersama, kita siap-siap saja. Kita bersyukur alat ini bermanfaat bagi masyarakat. Kita juga akan terus sebar luaskan," dia memungkasi.
Advertisement