Berjuang dengan Tenun, Wanita Ende Tetap Lestarikan Budaya

Wanita di Ende sudah selayaknya disebut sebagai pejuang keluarga dan seniman. Karena ditangan mereka, kebudayaan tenun Ende tetap terjaga.

oleh Akbar Muhibar diperbarui 16 Des 2016, 12:48 WIB
Mama Hermina sedang menenun kain tenun ikat untuk pria dalam pameran Pesona Kain dan Budaya Ende

Liputan6.com, Jakarta Tampak dua orang wanita yang sedang asyik mengerjakan kain tenun di pelataran Museum Tekstil Jakarta. Mereka tampak tekun dalam menghitung benang yang sudah terbentang 80 sentimeter dengan panjang 2 meter di hadapannya. Dengan sabar satu persatu benang di angkat dan ditahan dengan sebuah kayu panjang yang nantinya akan menjadi sebuah motif yang indah. 

Wanita tangguh ini datang langsung dari Ende, salah satunya adalah Hermina salah seorang ketua kelompok tenun Ende yang berasal dari desa Wiwipemor, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dengan senang hati, ia menceritakan bagaimana proses pembuatan tenun Ende yang sudah menjadi warisan turun temurun masyarakat.

“Pertama kita gulung talinya dulu, dari bentuk bulatan menjadi gulungan tali. Lalu tali-tali ini kita bariskan di alat tenun dan diberi air asam dengan cara di usapkan ke seluruh tali yang sudah terbentang. Di sepanjang 80 sentimeter kain ini ada sekitar 400 benang yang disusun,” ungkap Hermina di Pameran Pesona Kain dan Budaya Ende di Museum Tekstil Jakarta pada Rabu, (14/12/2016).

Tenun Ende akan ditampilkan di Museum Tekstil Jakarta selama satu minggu mulai tanggal 14 hingga 20 Desember 2016

Masyarakat pada umumnya membuat tenun Ende dengan berbagai jenis dan motif. Salah satu jenis yang paling mahal adalah Lawo Kirimara dan Lawo Daki karena motifnya yang sulit dan cantik bila dilihat. Namun pada umumnya, tenun Ende terbagi atas dua jenis, yaitu untuk laki-laki yang memiliki warna dasar hitam seperti sarung dan untuk wanita, yang memiliki dasar warna coklat dengan motif flora fauna.

“Untuk menyusun talinya, kita bisa selesaikan dalam satu hari. Tapi untuk proses tenun satu kain yang berbentuk sarung, kita bisa menyelesaikannya satu minggu lebih. Masing-masing motif kita harus hitung supaya sama, karena kalau ada benang yang salah, kita harus ulang. Sampai pusing kepala dibuatnya,” ungkap Hermina, yang biasanya dipanggil ‘Mama’ ini.

Mama Hermina juga menjelaskan bahwa ada beberapa kesulitan yang dihadapi saat memasarkan tenun Ende ini, mulai dari kesulitan bahan baku benang, kekurangan modal, dan tidak ada tempat khusus bagi kelompoknya untuk bersama-sama membuat tenun. Hal ini membuat produksi tenun Ende sangat bergantung dengan hasil penjualan sebelumya.

Mama Hermina sedang menenun kain tenun ikat untuk pria dalam pameran Pesona Kain dan Budaya Ende

“Kalau mau produksi kain, kita harus tunggu kain sebelumnya terjual, baru bisa membeli benang di pasar yang harganya makin mahal. Kalau begini terus kapan kita majunya? Saya sangat berharap kita dapat bantuan dari pemerintah supaya bisa beli benang terus, sehingga produksi tetap berjalan meski kain sebelumnya belum terjual.” terang Hermina.

Para penenun juga berharap berbagai kalangan dapat membantu keberlangsungan tenun Ende, dengan membangun sebuah galeri yang dapat menampung berbagai penenun untuk bekerja bersama. Galeri ini nantinya juga mempermudah orang-orang yang ingin belajar tenun tidak perlu ke rumah-rumah warga dan cukup datang ke galeri untuk menerima semua informasi dari para penenun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya