Liputan6.com, Jakarta Kuatnya arus modernisasi membuat beberapa mahakarya tradisional, seperti tenun, mulai kehilangan ruang. Kaum muda yang dinilai sebagai pewaris kebudayaan justru makin banyak yang meninggalkan nilai-nilai tradisional bangsanya. Hal tersebut diungkapkan Ali Abubekar, Ketua Museum Ikat Ende, saat pembukaan acara Pesona Kain dan Budaya Ende di Museum Tekstil, Jakarta, Rabu (14/12/2016).
“Saya sebagai kepala museum berusaha mengumpulkan kain Tenun Ende, memberikan data satu persatu kain tersebut dan merawat semua kain yang sudah dikumpulkan. Kain yang paling lama ada yang berusia 80 tahun. Seperti fungsi sebuah museum, kami berusaha memperkenalkan dan memberikan informasi kepada masyarakat yang butuh data soal kain tenun ini,” ungkap Ali Abubekar kepada Liputan6.com.
Advertisement
Ali mengungkapkan, Ende merupakan tanah yang kaya dengan kain tenunnya, bahkan tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri dan digunakan dalam setiap upacara adat, pesta, dan pergi ke gereja. Harga kain tenun ini juga mahal karena dinilai dari seninya, jadi pantaslah bila pengrajin tenun ini disebut sebagai seniman yang menciptakan karya yang indah.
Meski tenun Ende sangat menghormati "pakem", namun permintaan pasar menuntut masyarakat Ende juga memproduksi kain tenun modern.
“Karena mereka punya pakem yang kokoh, saya harus mencoba mengubahnya dengan waktu lama. Makan bersama, menyiapkan benang yang sudah diwarnai, hingga mengajarkan keamanan saat mewarnai tenun ini,” ujar Ali.
Bahkan karena ketidaktahuan para pengrajin dengan bahan pewarna kimia, banyak pengrajin yang langsung mencelupkan benang ke dalam larutan kimia tanpa menggunakan sarung tangan, sehingga tangan mereka luka-luka saat proses pewarnaan.
Untuk itu, perlu pengembangan lebih lanjut mengenai prosedur keamanan dan keselamatan agar produksi tenun Ende dapat dilakukan dengan cara modern. Museum Tenun Ikat Ende dan Pemda setempat mempunyai tanggung jawab penuh untuk melestarikan dan menjaga tenun ikat agar tidak punah.
“Saat ini terdapat 50 pengrajin yang dibina oleh Museum Tenun Ikat di Ende, di mana kondisi pengrajin tenun masih memerlukan bantuan dalam hal pemberdayaan, secara teknik tenun, penggunaan bahan-bahan alami, dan bahan baku lainnya, serta akses permodalan dan pemasaran. Kami berharap pemerintah tetap mendukung keberadaan Museum Tenun Ikat sekaligus memberikan advokasi supaya museumnya tetap terjaga,” kata Ali menambahkan.