KOLOM: Misi 25 Tahun Timnas di Rajamangala

Bisakah timnas akhiri paceklik gelar di markas Thailand, Stadion Rajamangala? Simak ulasan Asep Ginanjar.

oleh Liputan6 diperbarui 16 Des 2016, 08:00 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Selangkah lagi. Ya, tinggal selangkah lagi Timnas Indonesia mengakhiri paceklik trofi. Setelah SEA Games (dulu masih diikuti timnas senior) pada 1991, seperempat abad lamanya Indonesia tanpa prestasi. Kini, penantian panjang bisa diakhiri. Itu berkat keajaiban yang berlanjut di Stadion Pakansari. Dua gol dari Rizky Pora dan Hansamu Yama Pranata membuat Indonesia terus memelihara mimpi hingga ke batas akhir.

Berbekal kemenangan 2-1, anak-anak asuh Alfred Riedl bisa optimistis menatap laga final kedua di Stadion Rajamangala, akhir pekan ini. Sejak final dilangsungkan dengan sistem kandang-tandang, pemenang final pertama selalu menjadi juara. Apa pun hasil pada final kedua, trofi tak pernah gagal digapai.

Memang benar, berbekal satu gol tandang, Thailand hanya butuh kemenangan 1-0 untuk mengandaskan semua mimpi Boaz Solossa dkk. Lalu, dalam tiga final terakhir, tuan rumah final kedua selalu meraup kemenangan. Namun, tak ada jaminan hal itu bisa digapai oleh tuan rumah karena Indonesia selalu mencetak gol dalam enam laga terakhirnya. Bukan hanya satu, melainkan dua gol per laga.

Hal yang paling sulit dilawan tentu saja kobaran semangat Boaz cs. yang menyala-nyala. Dikurung habis-habisan, digempur "tujuh hari tujuh malam", kebobolan lebih dulu dari lawan, Garuda tak lantas menukik dan jatuh. Kepak sayap mereka tetap kuat dan malah membuat jeri.

Jangan lupakan dekapan mesra Fortuna, sang Dewi Keberuntungan. Lihat saja gol Stefano Lilipaly ke gawang Vietnam di Hanoi pada semifinal kedua yang terjadi berkat blunder bek dan kiper lawan saat mengantisipasi umpan silang Boaz. Tengok juga gol Rizky Pora di Pakansari lalu. Bola mengecoh kiper Kawin Thamsatchanan karena lebih dulu membentur punggung Tristan Do.

Bek Timnas Indonesia, Hansamu Yama Pranata (tengah) berlari usai mencetak gol ke gawang Thailand di final pertama Piala AFF 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Tak perlu ragu atau malu mengakui hal itu. Bagaimanapun, keberuntungan adalah faktor yang dimiliki semua pemenang, seluruh juara. Seperti kata Ed Smith dalam Luck, What It Means and Why It Matters, keberuntungan adalah segala faktor yang tak bisa dikontrol oleh kehendak kita. Dia hadir begitu saja.

Faktor-faktor di luar kontrol ini sangat kental terasa di kubu Indonesia. Saat semifinal pertama, ketika harus tampil tanpa dua bek tengah utama, siapa sangka dua bek pengganti justru memesona. Hansamu malah jadi aktor penting dengan golnya yang membuka kemenangan 2-1. Akumulasi kartu kuning yang dialami Yanto Basna dan Fachrudin Aryanto pun bak sebuah berkah, jalan tersendiri yang dibukakan Tuhan bagi Indonesia.

Pada final pertama di Pakansari, keberuntungan itu muncul dalam bentuk kesialan yang dialami lawan. Dua bek tengah andalan Thailand, Tanaboon Kesarat dan Pratum Chutong, harus absen. Ini berkah bagi Indonesia karena tanpa keduanya di jantung pertahanan, kekuatan Gajah-Gajah Perang asuhan Kiatisuk Senamuang jadi melemah.

Di Rajamangala, semoga saja faktor-faktor yang di luar kuasa manusia itu kembali berpihak kepada Indonesia. Entah apa pun wujudnya, kita memerlukan itu untuk mengamankan piala yang sudah di pelupuk mata.

Suporter wanita membentangkan tangan jelang menyaksikan laga final pertama Piala AFF 2016 antara Indonesia melawan Thailand di Stadion Pakansari, Kab Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)


Kandang Angker

Pemain Timnas Indonesia merayakan gol yang dicetak Hansamu Yama Pranata (23) saat laga final pertama Piala AFF 2016 melawan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Lagi pula, lawatan ke Thailand bukan hal mudah. Sudah sangat lama Indonesia tak meraih hasil positif saat melawat ke sana. Dalam 16 lawatan terdahulu, Indonesia mengalami 14 kekalahan, sekali imbang, dan sekali pula menang.

Satu-satunya kemenangan dibuat pada Pra-Piala Dunia 1986. Datang ke Bangkok pada 29 Maret 1985, Indonesia berhasil menang 1-0 lewat gol tendangan voli Herry Kiswanto. Setelah itu, dalam tujuh lawatan berikutnya, Garuda selalu tak berdaya, pulang dengan tangan hampa.

Jikapun ada hal positif, itu adalah fakta bahwa Garuda tak kehilangan cara membuat gol dalam lima lawatan terakhir. Meski selalu kalah, Indonesia tak pernah membiarkan tuan rumah membuat clean sheet. Cakar dan paruh Garuda cukup kuat untuk menjejalkan setidaknya satu gol ke gawang Thailand.

Memang, bagi sebagian orang, apalah arti statistik pertemuan masa lalu. Namun, bagaimanapun, sejarah pertemuan tak bisa dikesampingkan begitu saja. Hasil buruk setiap bertandang ke Bangkok menunjukkan adanya faktor di luar kuasa yang berlaku di sana. Faktor nonteknis yang berpengaruh terhadap performa di lapangan dan tentunya hasil akhir.

Gelandang Timnas Indonesia, Stefano Lilipaly (kanan) mencoba melewati kawalan pemain Thailand saat final pertama Piala AFF 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Rekor buruk di Thailand seharusnya menjadi perhatian dan peringatan tersendiri. Itu adalah alarm dini bahwa lawatan ke Rajamangala, Sabtu (17/12/2016) akan sangat sulit. Di kandang sendiri, kekuatan Thailand menjadi lengkap. Bukan hanya memiliki tim yang lebih baik dan permainan yang jauh lebih rapi, Thailand juga didukung keangkeran Rajamangala.

Tengok saja kiprah Teerasil Dangda cs. di Pra-Piala Dunia 2018. Meski terseok-seok di putaran ketiga, hanya Jepang yang sanggup menang di Rajamangala. Adapun Australia harus puas dengan hasil imbang 2-2. Sebelumnya, saat putaran kedua, The War Elephants menaklukkan Vietnam, mengalahkan Cina Taipei, dan mengimbangi Irak.

Di Rajamangala nanti, Indonesia akan butuh banyak keberuntungan guna mengamankan kemenangan yang diraih di Pakansari. Bahkan, mungkin butuh lebih banyak dari yang didapatkan saat melawat ke kandang Vietnam pada semifinal lalu. Tentu akan lebih afdal jika pelatih Alfred Riedl mampu menyertakan taktik dan strategi yang tepat.


Awal yang Baru

Wapres Jusuf Kalla (tengah) melambaikan tangan jelang menyaksikan laga final pertama Piala AFF 2016 antara Indonesia melawan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Fakta-fakta ini seharusnya membuat kita tetap membumi. Optimisme memang pantang dikendurkan, namun jemawa jelas bukan hal yang harus ditunjukkan. Jemawa hanya akan menghadirkan kekecewaan mendalam bila Boaz dkk. gagal menghadirkan gelar yang diidam-idamkan. Sebaliknya, sikap membumi akan membuat kita lebih bijak menyikapi apa pun takdir yang diraih.

Apa pun hasil di Rajamangala nanti, hanya pujian yang patut disematkan kepada tim asuhan Riedl. Sungguh lancang bila ada yang memaki-maki dan mencerca habis-habisan. Bagaimanapun, bagi tim yang "seadanya", lolos ke final adalah prestasi besar. Itu di luar dugaan siapa pun.

Lebih dari itu, Boaz cs. telah menampar kita, membangunkan kita, menyadarkan kita bahwa sepak bola Indonesia masih bisa berbicara di kancah internasional. Di Piala AFF 2016, kita bisa menyaksikan bahwa Indonesia punya pemain-pemain dengan mentalitas luar biasa. Indonesia juga tak kekurangan talenta hebat. Indonesia punya semua modal untuk berprestasi.

Melihat potensi tersebut, sepatutnya kita makin optimistis dan bersemangat untuk memperbaiki kondisi persepakbolaan kita. Memang masih sangat kusut, namun dengan tekad dan kerja keras, seperti yang telah ditunjukkan Boas dkk., tak ada yang mustahil. Sekusut apa pun permasalahan yang ada, kita pasti bisa mengurainya.

Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi (kiri) memberi keterangan usai penutupan kongres biasa di Jakarta, Kamis (10/11). Edy Rahmayadi menjadi Ketua Umum PSSI 2016-2020 setelah meraih suara 76 dari 107 pemilik hak suara. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kejutan besar di Piala AFF kali ini harus menjadi titik awal baru bagi persepakbolaan negeri ini. Apalagi PSSI juga baru saja memiliki kepengurusan anyar. Kejutan dari Boaz dkk. harusnya jadi pelecut bagi PSSI, terutama Edy Rahmayadi, sang ketua umum baru, untuk menata lebih baik persepakbolaan nasional.

Secara khusus, melihat potensi dan bakat-bakat yang ada, PSSI harus mengambil langkah nyata dalam menata pembinaan usia dini. Jangan sampai program pembinaan hanya retorika tanpa isi seperti sebelum-sebelumnya. Tidak cukup hanya mewajibkan klub-klub kasta tertinggi untuk memiliki tim U-21, tetapi juga mengadakan kompetisi kelompok umur secara berjenjang sehingga bakat-bakat di seluruh penjuru tanah air memiliki wadah untuk mengasah kemampuan sekaligus unjuk gigi.

Kedatangan timnas di Bangkok (PSSI)

Jangan lupakan pula akademi dan sekolah sepak bola yang menjadi akar rumput. Perlu adanya kurikulum baku yang jadi pegangan bersama dalam mengasah talenta-talenta belia. Kualitas pelatih-pelatih di level ini pun wajib ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai dengan perkembangan sepak bola global. Bagaimanapun, merekalah ujung tombak dalam pembinaan. Andai kemampuan dan pengetahuan mereka tak terus di-upgrade, output yang dihasilkan pasti tak akan maksimal.

Apa pun takdir yang diterima Boaz dkk. di Rajamangala, perubahan-perubahan mendasar harus dilakukan di persepakbolaan kita. Tanpa efek nyata terhadap hal itu, trofi Piala AFF sekalipun tak akan terlalu bermakna. Apalagi jika itu malah membutakan dan melenakan, bahwa tak perlu mengejar kondisi ideal karena dengan kondisi sekarang pun kita bisa juara.

*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggai kolom ini di @seppginz.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya