Liputan6.com, Manila - Suatu malam, tamu tak diundang datang ke rumah Elizabeth Navarro (29). "Ada suara ketukan di pintu," kata perempuan yang sedang hamil itu. Ia tak mengira bahwa itu adalah para 'algojo' Duterte.
Sang suami yang merespons, bertanya siapa gerangan yang mengetuk pintu. "Lalu, aku mendengar dua suara tembakan," kata Navarro.
Advertisement
Ketika ibu lima anak itu menyadari apa yang terjadi, suaminya, Domingo Manosca dan putranya, Francis tewas. Bocah 6 tahun itu dihabisi saat sedang terlelap tidur.
Setelah melakukan aksinya, para penembak kabur. Diduga suami Navarro jadi target penembakan karena disangka terkait dengan jaringan narkoba.
Bukan hanya ayah dan anak itu yang 'dieksekusi mati' di luar hukum, tanpa melalui proses peradilan.
Sejak menjabat sejak Juni 2016, Presiden Rodrigo Duterte mengobarkan perang brutal melawan narkoba. Sudah lebih dari 5.900 nyawa yang melayang.
Pada Senin lalu, Duterte bahkan sesumbar bahwa ia pernah membunuh seorang bandar narkoba saat menjadi Wali Kota di Davao.
Komentarnya tersebut menuai reaksi keras. "Apa yang diucapkan presiden sama saja dengan pengakuan terjadinya 'pembunuhan massal'," kata Senator Leila De Lima kepada CNN.
"Itu adalah pembunuhan massal," kata perempuan tersebut. "Kejahatan tingkat tinggi itu bisa jadi dasar pemakzulan berdasarkan konstitusi."
Di antara mereka yang tewas sejauh ini, hampir dua pertiganya jadi korban jiwa dalam aksi pembunuhan ekstrayudisial atau main hakim sendiri. Sementara, lebih dari 40 ribu tersangka kini ditahan.
Beredar dugaan sejumlah pembunuhan dilakukan dengan sengaja oleh polisi, untuk menghindari rumitnya proses penyelidikan. Duterte sudah lama dituduh menggunakan perang melawan narkoba sebagai alasannya untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.
Sebuah headline koran pada Kamis lalu memuat pernyataan Duterte yang menyerukan agar 'politisi korup' untuk mengundurkan diri atau menghadapi kematian.
Duterte secara terbuka menuduh Senator Leila De Lima mendapatkan manfaat dari jaringan narkoba di dalam penjara Manila.
Duterte juga menyebut, sang senator punya video seks dan memiliki hubungan terlarang dengan sopir atau terduga pelaku kriminal lainnya.
Rakyat 'Terbelah'
Jajak pendapat mengatakan, mayoritas rakyat Filipina mendukung perang narkoba Duterte. Mereka yang setuju mengaku, tindakan itu membuat lingkungannya kian aman.
Namun, warga pemukiman padat lagi kumuh di Manila tak sependapat. Menurut mereka, pembunuhan tersebut tak adil.
"Kadang mereka membunuh 10 hingga 20 kali dalam sehari. Aku takut. Saat ini kita tak tahu siapa kawan dan lawan," kata seorang perempuan.
Di sekitar bangunan di mana peti mati Francis dan Domingo Manosca disemayamkan, kerabat bermain kartu, bukan untuk berjudi melainkan mengumpulkan uang sekitar US$ 900 untuk biaya pemakaman.
Uang yang setara dengan Rp 12 juta tersebut jumlahnya tiga kali lipat dari pendapatan Domingo, yang berprofesi sebagai pengayuh becak, dalam setahun.
Dua anak ayam hidup di peti mati sang bocah melambangkan bahwa keluarganya akan menuntut keadilan bagi mendiang.
Sang ibu mengatakan, Francis adalah anak yang bahagia dan akan mulai bersekolah tahun depan.
Di sebuah lokasi kumuh di Pasay City itu, para bocah kerap mengemis untuk mendapatkan recehan. Namun, Francis dikenal dengan kemampuannya menari -- untuk mendapatkan uang 1 peso.
Ibu Domingo, Maria Musabia mengatakan, putranya mulai menggunakan shabu atau meth ketika berusia 29 tahun.
Barang haram itu populer di kalangan warga miskin Filipina sebagai cara untuk meningkatkan energi dan menahan lapar.
Enam bulan lalu, saat Duterte mulai meluncurkan perang melawan narkoba, Domingo berhenti menggunakan shabu dan menyerahkan diri ke polisi.
Setelah diperiksa, polisi mengizinkannya bebas. Keluarganya mengatakan, Domingo tak lagi mengonsumsi barang haram -- ngeri dengan ancaman pembunuhan yang dilontarkan Duterte. "Keluarga kami butuh bantuan," kata Musabia.
Advertisement