Liputan6.com, Jakarta Ironi banyak terjadi di negeri ini. Termasuk juga dalam memancang komoditi tembakau. Dari sisi regulasi digencet sana-sini. Promosi diatur ketat. Konsumsi pun tak bisa sembarangan, bahkan terkadang kucing-kucingan. Seakan-akan rokok sudah kategori narkoba.
Padahal, rokok barang legal seperti ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, meski rokok dan tembakau mengandung zat adiktif , tidak tepat menyandingkan rokok sama dengan narkotika.
Advertisement
Yang sering orang lupa, sumbangan dari industri yang diterima pemerintah tahun lalu saja mencapai Rp150 triliun dalam bentuk cukai dan pajak mengalahkan kontribusi industri migas, properti.
Toh, nada ‘kebencian’ tak kunjung hilang ke produk tembakau. Paling menyakitkan industri, rokok, dianggap sebagai biang kemiskinan.
Stempel biang kemiskinan itu dilekatkan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, hingga Badan Pusat Statistik (BPS). Keduanya kompak menyebut rokok sebagai komoditi pemicu kemiskinan. PKEKK menyebut, harga rokok murah jadi penyebab kemiskinan.
Adapun BPS menyebut rokok penyumbang kemiskinan nomor dua setelah beras dengan kontribusi sebesar 8,08 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan di perdesaan kontribusinya 7,68 persen.
Hitungan BPS, penduduk miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Hal itu dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan minimum yang disetarakan dengan 2.200 kalori per kapita per hari. Data BPS itu seolah menjadi ‘kebenaran mutlak’.
Tak heran, Wakil Presiden Jusuf Kalla turut mengamini. Kata Kalla, rokok membuat masyarakat semakin miskin karena meski harga rokok naik, pendapatan ‘ahli hisap’ tak naik. Sementara duit yang ada tetap dibelikan rokok. Alhasil, ekonominya tak berubah. “Orang bisa miskin itu kalau tingkat pengeluaran lebih tinggi dari pendapatannya,” kata Kalla, dilansir Tempo.
Benarkah sesimpel itu?
Pelabelan miskin atau tidak miskin sejatinya sensitif dan tidak mudah. Kategori kemiskinan pun punyak banyak versi. Ada kemiskinan absolut, ketika seseorang tak mampu memenuhi kebutuhan minimum agar bisa bertahan hidup.
Ada kemiskinan struktural, sebagai suatu keadaan orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Ketidaktepatan kebijakan pemerintah juga bisa menyebabkan kemiskinan struktural. Ada pula kemiskinan kultural dan situasional, yang lebih dikarenakan kondisi atau daerahnya yang membuat seseorang rentan miskin.
Sementara merujuk Undang Undang RI nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Sementara Bank Dunia menggunakan batas kemiskinan dengan penghasilan USD1 per hari per kapita.
Nah, rokok menjadikan seseorang miskin masuk kategori mana? Yang banyak terjadi, kemiskinan itu lebih karena kebijakan. Rakyat tetap miskin karena pemerintah tidak bisa menekan kenaikan harga-harga yang otomatis membuat nilai uang masyarakat makin tak bernilai.
Di saat yang sama kesempatan kerja tidak bertambah. Jika seperti ini, mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin. Alhasil, penyebab kemiskinan itu kompleks, tidak simpel.
Belum lagi, BPS tidak memerhatikan kemungkinan pola perilaku konsumen. Bukan hal yang aneh, ketika harga naik, konsumen mengurangi jatah belanja, termasuk belanja rokok. Jika sebelumnya membeli sebungkus, karena harga naik, hanya beli beberapa batang. Atau bukan yang sering terjadi, konsumen malas beli dan lebih doyan minta ke teman. Coba saja cermati. Itulah keragaman masayarakat Indonesia.
Rokok bukan faktor tunggal
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati sepakat, tidak ada faktor tunggal dari penyebab kemiskinan. Malahan, berlebihan jika kemiskinan itu dilekatkan pada suatu produk, dalam hal ini rokok. Terkesan, ada cuci tangan akibat tidak mampu memberantas kemiskinan.
Faktor penyebab utama dari naiknya angka kemiskinan lebih karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan formal dan juga banyaknya pemutusan hubungan kerja yang akibat perlambatan ekonomi.
“Jadi, rokok bukan penyebab kemiskinan, bahwa terjadi kenaikan persentasi pengeluaran memang iya sehingga terkesan seolah olah harga rokok tinggi jadi penyebab kemiskinan. Tetapi analisa BPS tidak lengkap,” ujar Enny, saat dihubungi.
Menurutnya, masih tingginya persentase kemiskinan itu lebih karena adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memang belum bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin.
Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengingatkan, dalam setiap pembahasan isu tembakau, tidak bisa berdiri sendiri atau mengedepankan kepentingan lembaga sendiri karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Tatkala kita bicara mengenai industri rokok maka kita harus melihatnya secara holistik dan multi aspek. Dalam industri ada entitas yang terdiri dari buruh/pegawainya, sebagai suatu hal yang tak dapat kita abaikan,” kata dia.
Isu-isu tertentu terhadap komoditi tembakau, seharusnya dilihat dengan cara pandang luas supaya tidak berpotensi menimbulkan kerawanan sosial karena ada jutaan buruh, jutaan keluarga yang bergantung ke sektor komoditi tembakau.
“Hal ini tentu dapat memicu kerawanan sosial, sangat mudah menjadi obyek proxy. Kemarahan massa mudah disulut sehingga mengganggu keamanan bahkan pertahanan negara,” tegasnya.
Jadi, jangan mudah bilang tembakau biang kemiskinan .
(Adv)