Malaysia: Krisis Rohingya Ancaman bagi Stabilitas Kawasan

Menlu Malaysia, Aman, mengingatkan agar Myanmar tidak mengulangi krisis kemanusiaan yang pernah terjadi pada 2015 lalu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 19 Des 2016, 19:06 WIB
PM Malaysia Najib Razak dalam demo solidaritas Rohingya (VOA News)

Liputan6.com, Yangon - Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman menegaskan, perlakuan Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat mengancam stabilitas dan keamanan kawasan. Hal tersebut disampaikan Aman saat menghadiri pertemuan ASEAN untuk membahas perkembangan di negara bagian Rakhine.

Para perwakilan negara ASEAN mengadakan pertemuan di Yangon menyusul laporan beberapa LSM yang menyebutkan bahwa militer Myanmar melakukan pembakaran rumah dan menyerang perempuan serta anak-anak dari kalangan etnis Rohingya.

Menlu Malaysia juga mendesak pemerintah Myanmar untuk tidak mengulangi bencana kemanusiaan yang terjadi pada 2015 lalu. Kala itu ribuan warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine dengan menggunakan perahu sebelum akhirnya mereka terombang-ambing di Laut Andaman.

"Saya percaya kita semua tidak ingin krisis yang dapat memengaruhi keamanan dan stabilitas kawasan seperti ini terulang," ujar Aman seperti dikutip dari CNN, Senin (19/12/2016).

"Situasi seperti ini telah menjadi keprihatinan regional dan seharusnya diselesaikan bersama-sama," tuturnya.

Sejauh ini, Malaysia telah menjadi pengkritik keras kekerasan yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya, minoritas muslim di Rakhine.

Kurang lebih dua pekan lalu, PM Malaysia, Najib Razak, menegaskan seharusnya pemimpin de facto negara itu, Suu Kyi, mencari solusi atas persoalan Rohingya mengingat ia merupakan penerima Hadiah Nobel.

PM Najib juga sempat mengajak Indonesia berpartisipasi melawan kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga Rohingya.

Tak sampai di situ saja, orang nomor satu di pemerintahan Malaysia itu juga rela turun ke jalan untuk memprotes kekejaman yang terjadi di Rakhine.

"Kita bukan ingin ikut campur tangan terkait urusan dalam negeri Myanmar. Namun kekejaman terhadap etnis Rohingya telah melampau batas," kicau Najib di media sosial Twitter.


Amnesty International: "Kejahatan terhadap Kemanusiaan"

Kritik keras yang dilontarkan Malaysia muncul setelah Amnesty International merilis laporan yang berisi tuduhan bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Militer Myanmar telah menargetkan warga sipil Rohingya dalam kekerasan yang sistematis," kata Direktur Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, Rafendi Djamin.

"Pria, wanita, anak-anak, seluruh keluarga dan seluruh desa telah diserang dan dilecehkan, sebagai bentuk hukuman kolektif," ujarnya.

Laporan Amnesty International itu disusun berdasarkan analisis citra satelit, foto, dan video serta wawancara ekstensif dengan etnis Rohingya, baik yang berada di Myanmar maupun Bangladesh.

Melalui pernyataan yang dirilis Jumat lalu, PBB telah mengutuk kegagalan pemerintah Myanmar atas penanganan krisis Rohingya yang disebut "tidak bijaksana dan tidak berperikemanusiaan."

"Pengusiran yang terjadi berulang-ulang merupakan pelanggaran HAM serius. Hal ini ditambah dengan kegagalan untuk mengizinkan tim pemantau independen kami akses ke daerah yang terkena dampak terburuk di Rakhine utara. Ini sangat menghina para korban dan melepaskan kewajiban pemerintah di bawah hukum HAM internasional," kata Komisaris Tinggi PPB untuk HAM, Zeid Ra'ad Al Hussein.


Myanmar: Kami Korban dari Berita Palsu

Melalui sebuah pernyataan tertulis kepada CNN, juru bicara pemerintah Myanmar, Aye Aye Soe, menuding bahwa Amnesty International telah menjadikan Myanmar "korban dari berita palsu" dan sebuah "kampanye disinformasi".

"Hal paling menyedihkan dan sangat disayangkan bahwa organisasi seperti Amnesty International melontarkan tuduhan tak berdasar, yang terdiri dari foto dan keterangan yang mengambang di media massa dan mencapai kesimpulan mereka sendiri," ujar Aye Aye Soe.

"Memicu kegaduhan internasional, mendorong ekstremisme, kebencian dan serangan bersenjata yang pastinya tidak akan memecahkan permasalahn di Rakhine," ujarnya.

Menurut Soe, selama delapan bulan terakhir, pemerintahan Myanmar telah mengambil inisiatif untuk mengatasi persoalan di Rakhine, termasuk proses verifikasi kewarganegaraan untuk Rohingya. Ia juga menegaskan Amnesty International mengabaikan perkembangan tersebut.

Soe menekankan bahwa perubahan membutuhkan waktu.

"Ruang dan waktu harus diberikan untuk membiarkan inisiatif ini bekerja dan bukannya justru bersekongkol untuk menyalakan api, menambah kompleksitas masalah ini," ujar Soe.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya