Liputan6.com, Raqqa - ISIS menyediakan aplikasi untuk dapat mengakses situs berisi konten kekerasan yang ditujukan kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, di wilayah kekuasaannya. Hal itu terjadi seiring dengan digunakannya anak-anak dalam pertempuran di Irak dan Suriah.
Menurut pejabat militer dan keamanan, usaha untuk menciptakan generasi teroris itu menyusul di tengah adanya bukti gerakan baru dalam merekrut generasi muda di Barat untuk melakukan serangan di Eropa dan Amerika, serta dikirim ke Timur Tengah untuk bergabung dalam pertempuran.
Advertisement
Terdapat peningkatan tajam dalam jumlah anak-anak di garis depan, yang diperkirakan mencapai 50.000 orang, menyusul kekalahan besar yang dihadapi ISIS saat kelompok militan itu mempertahankan Mosul di Irak dan 'ibu kota' Raqqa di Suriah.
Sekitar 300 militan muda tewas, kebanyakan akibat bom bunuh diri. Meski demikian, ISIS diperkirakan memiliki lebih dari 1.500 militan muda baru.
Dikutip dari Independent, Selasa (20/12/2016), pejabat keamanan juga memperingatkan adanya masalah serius atas apa yang harus dilakukan terhadap anak-anak yang diindoktrinasi setelah konflik berakhir.
Menurut sumber keamanan, internet menjadi cara umum untuk melakukan indoktrinasi kepada anak-anak, baik di Barat maupun Timur Tengah. Pemerintah Inggris mengungkap bahwa sebanyak 50 anak muda telah dicegah dari meninggalkan Inggris untuk pergi ke Suriah dalam 12 bulan terakhir.
Dari puluhan tersangka, semuanya remaja, dilaporkan telah ditahan di Belgia pada pekan lalu atas tuduhan merencanakan penyerangan pasar orang yang berbelanja keperluan Natal. Selain itu, seorang remaja berusia 12 tahun ditangkap di Ldwigshafen, Jerman, pada awal bulan ini setelah mencoba meledakkan bom paku di sebuah pasar Natal.
ISIS mendirikan kios di sejumlah wilayah kekuasaannya di Irak dan Suriah, di mana anak-anak dapat menggunakan aplikasi untuk membaca majalah online ISIS, Rumiyah, serta situs yang mengajarkan mereka bahasa Arab.
Aplikasi untuk 'Meracuni' Pikiran Anak-Anak
Gambar pistol dan tank tersedia secara melimpah di situs belajar bahasa Arab serta sejumlah landmark di Eropa dan Amerika.
"Apa yang mereka lakukan adalah perbuatan keji, mereka bersedia menggunakan anak-anak untuk melakukan serangan bom bunuh diri: visi apokaliptik mereka merusak masyarakat di mana pun mereka berkuasa. Apa yang mereka coba lakuakn adalah membuat masalah dengan ideologi beracun mereka," ujar Kolonel John Dorrian dari Koalisi Pimpinan AS terhadap ISIS.
"Mereka bahkan telah membuat sebuah aplikasi yang digunakan untuk mendoktrinasi anak-anak, yang seharusnya digunakan mereka untuk belajar bahasa Arab. Tapi kata-kata yang digunakan mereka dalam pembelajaran itu terkait dengan kekerasan dan ekstremisme, seperti tank dan granat."
"Anak-anak akan diberi hadiah jika mereka mengatakan siap untuk melakukan serangan terhadap Barat, sejumlah targetnya tempat-tempat seperti Patung Liberty, Big Ben dan Menara Eiffel."
"Kami sangat khawatir bahwa apa yang mereka pelajari melalui aplikasi tersebut berubah menjadi kenyataan. Namun dalam waktu bersamaan, kami harus menjaga anak-anak ini ketika waktunya telah tiba, kerugian tak terhitung yang telah dilakukan kepada mereka perlu dihentikan," jelas Dorrian.
Sebagian besar anak-anak yang bergabung dengan ISIS berasal dari Suriah dan Irak, disusul dengan Yaman dan Maroko yang berasal dari luar wilayah. Terdapat juga sekitar 50 anak dari Inggris, Prancis, Australia, dan sejumlah negara Barat lainnya.
"Kami perlu mempertimbangkan apa yang perlu dilakukan untuk anak-anak ini. Beberapa dari mereka yang digunakan untuk melakukan tindakan kriminal, beberapa di antaranya benar-benar mengerikan, berada di bawah usia pertanggungjawaban pidana di banyak negara Eropa," ujar pejabat keamanan senior Inggris.
"Kami tahu anak-anak dari Barat yang telah diambil ke Suriah, namun ada anak-anak yang telah lahir di sana dan memiliki orangtua berkebangsaan Eropa. Ini merupakan skenario rumit dan tak ada jawaban mudah," imbuh dia.
Advertisement