Suriah, ISIS, China, Rusia...Ini Tantangan Militer AS Tahun 2017

Tak hanya di bidang ekonomi dan sosial, bidang militer juga jadi tantangan bagi Donald Trump yang akan segera dilantik.

oleh Liputan6 diperbarui 21 Des 2016, 07:21 WIB
Seorang tentara Amerika Serikat berselfie di dekat kendaraan tempur di pangkalan militer AS di Qayyara, selatan Mosul (25/10). (REUTERS/Alaa Al-Marjani)

Liputan6.com, Washington DC - Tahun 2016 tinggal hitungan hari. Dan tak lama lagi, pada 20 Januari 2017, Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump akan dilantik dan memimpin salah satu kekuatan dunia.

Tak hanya di bidang ekonomi dan sosial, bidang militer juga jadi tantangan bagi Trump.

Saat ini, Amerika Serikat masih terlibat dalam perang melawan ekstremis Afghanistan, juga militan ISIS di Irak dan Suriah.

Hingga kini belum jelas sejauh mana keterlibatan pemerintahan Trump mendatang dalam upaya menyelesaikan krisis Suriah.

"Di Suriah kita tidak punya strategi untuk mengakhiri perang saudara. Secara implisit Donald Trump mungkin tidak keberatan membiarkan Presiden Assad memenangkan perang, tetapi saya yakin itu bukan kebijakan yang dapat ditempuh Amerika karena tangan Assad berlumuran begitu banyak darah," kata Michael O’Hanlon dari Lembaga Brookings, seperti dikutip dari VOA News, Rabu (21/12/2016).

Sementara, perang di Afghanistan memasuki tahun kelimabelas. Pasukan internasional telah dikurangi dari sekitar 140 ribu tahun 2011 menjadi kurang dari 15 ribu.

Pakar pertahanan Michael O’Hanlon mengatakan, tim kebijakan pertahanan Amerika Serikat mungkin perlu mempertimbangkan kemungkinan menambah kehadiran pasukan internasional di Afghanistan untuk jangka pendek.

"Tidak ada alasan tidak berbuat lebih banyak dalam upaya meringankan beban polisi dan tentara Afghanistan, untuk memberi mereka waktu membangun diri guna memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan besar yang mereka alami," tambah dia.

Namun, selagi Amerika sudah memerangi ekstremisme di seluruh dunia, Rusia dan China telah memodernisasi militer mereka.

"Karena kita begitu terfokus pada operasi-operasi terhadap ISIS, menstabilkan Irak dan Afghanistan, dan karena ketentuan Undang-Undang Kontrol Anggaran sejak tahun 2012, kita tidak dapat membeli peralatan modern yang diperlukan untuk mengimbangi kemampuan militer Rusia dan China," kata David Ochmanek dari Rand Corporation.

Ochmanek menambahkan, Amerika Serikat perlu membelanjakan uangnya untuk membeli persenjataan seperti misil jelajah dan misil udara-ke-udara.

Dalam pidato-pidatonya setelah memenangkan pilpres, Donald Trump menjanjikan pembangunan di bidang militer. "Kita memiliki orang-orang terbaik di dunia dalam angkatan bersenjata Amerika, dan kita pada akhirnya akan mengurus para veteran perang dengan baik," tambah dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya