Liputan6.com, Pekanbaru - Setelah disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dugaan korupsi pembangunan Jembatan Pedamaran I dan II di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, yang menelan biaya Rp 750 miliar memasuki babak baru.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang awalnya tidak sepaham dengan konstruksi hukum penyidik akhirnya bersedia mengaudit penghitungan kerugian negara.
Kesepakatan itu diperoleh setelah penyidik Asisten Pidana Khusus Kejati Riau, BPKP, dan KPK melakukan gelar perkara sebanyak lima kali.
Menurut Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Riau Sugeng Riyanta, hasil lima kali gelar itu cukup memberikan kemajuan signifikan terhadap kasus yang menjerat mantan Asisten II Pemprov Riau Wan Amir Firdaus dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Rokan Hilir Ibus Kasri.
"Alhamdulillah, BPKP sepakat untuk membantu melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara," kata Sugeng melalui sambungan telepon, Rabu petang, 21 Desember 2016.
Terkait lamanya proses penyidikan kasus ini, Sugeng tidak ingin melihat ke belakang. Menurut dia, pengusutan kasus ini masih berjalan dan dijanjikan akan selesai hingga dimajukan ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Baca Juga
Advertisement
"Harus diakui memang konstruksi hukum dan alat bukti yang disajikan penyidik (terdahulu) ke BPKP belum lengkap sehingga belum meyakini (untuk perhitungan kerugian negara)," ujar dia.
Terkait kemungkinan adanya calon tersangka baru, Sugeng tidak memungkiri hal tersebut. Selama konstruksi hukumnya bulat dari kedua orang tersangka ini, apapun kemungkinannya menurut Sugeng bisa saja terjadi.
"Kita lihat dulu yang ini, nanti kan apa yang terungkap bisa saja berkembang. Jadi, utuh dulu perkara dengan dua tersangka ini terlebih dulu," ujar dia.
Pada hari yang sama, Sugeng juga menyebut pihaknya tengah meminta keterangan ahli dari Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Pemeriksaan dilakukan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ahli LKPP dimintai keterangan terkait kasus Pedamaran di KPK. Penyidikannya terus berjalan," ujar dia.
Dia menyatakan, keterangan ahli LKPP diperlukan penyidik guna melihat konstruksi hukum yang dilanggar dalam perkara dugaan Tipikor yang sudah berlangsung lama ini.
Kasus ini terungkap dari laporan yang disampaikan masyarakat. Dalam laporan tersebut dinyatakan kalau proyek yang menggunakan dana APBD 2008-2010 tersebut dikucurkan berdasarkan kesepakatan kontrak awal Nomor: 630/KONTRAK-JPI/MY/2008/47.80, dengan PT Waskita Karya sebagai pemenang tender.
Awalnya, pembangunan jembatan Padamaran I dan Padamaran II dianggarkan melalui APBD Rokan Hilir dengan sistem multiyeras sejak tahun 2008 sebesar Rp 529 miliar.
Dalam perjalanannya, tepatnya pada 2012, dianggarkan kembali Rp 66.241.327.000 untuk Jembatan Padamaran I dan Rp 38.993.938.000 untuk Jembatan Padamaran II. Kemudian dianggarkan lagi sebesar Rp146.604.489.000. Hasilnya jembatan tak selesai.
Dalam penyidikan ditemukan bahwa penganggaran itu tanpa dasar hukum, sehingga terdapat kerugian negara yang segera dihitung BPKP.