Liputan6.com, Jakarta - Kasus korupsi ternyata belum menunjukkan kata usai. Buktinya, sepanjang 2016 serangkaian kasus korupsi menyeruak ke permukaan. Lakonnya tidak lain dan tidak bukan adalah para politikus dan pejabat kementerian dan lembaga, yang memang bertugas membuat komitmen perjanjian alias kontrak dengan pihak swasta.
Bahkan boleh dibilang 2016, sebagai tahunnya korupsi. Alasannya sederhana, banyaknya kasus korupsi yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus korupsi tersebut, diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT).
Advertisement
Memang, masih bisa diperdebatkan 2016 merupakan tahun korupsi. Hal ini jika melihat sebaran korupsi, aktor yang terlibat, besaran uang yang dikorupsi. Simak saja pada 2015, kasus korupsi yang diawali dengan OTT tidak sebanyak tahun ini. Tapi jika melihat duit yang dikorupsi terbilang fantastis yakni, rata-rata dalam satuan miliar.
Sedangkan pada 2016, secara kuantitas banyak. Lakonnya pun beragam. Tapi bicara kualitas dalam arti nominal yang dikorupsi bervariasi, dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dari kepala daerah tingkat terendah Wali Kota hingga hakim panitera. Namun sekali lagi, anggota dewan yang terjerat kasus korupsi tetap mendominasi dan tentunya nominal yang diduga dikorupsi pun fantastis.
Liputan6.com menghimpun kasus korupsi sepanjang 2016. Namun karena banyaknya kasus korupsi, dibatasi pada aspek nominal yang dikorupsi dan aktor yang diduga melakukan korupsi. Sebab, sekali lagi, aktor adalah peran utama dalam lakon korupsi. Tentu juga pihak-pihak terkait, yakni swasta. Selain itu, faktor jabatan atau pengaruh patut diduga menjadi semacam pelicin untuk korupsi.
Berikut para politikus dan pejabat yang keta OTT KPK karena diduga korupsi sepanjang 2016:
1. Suap di Awal Tahun Kader PDIP Damayanti
Penangkapan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti merupakan operasi tangkap tangan pertama yang digelar Agus Rahardjo cs. Damayanti, seorang politikus PDI Perjuangan, ditangkap di Jakarta pada Rabu 31 Januari 2016.
Damayanti diciduk karena diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir. Dia ditengarai menerima suap total Rp 8,1 miliar. Suap diterima tiga kali masing-masing 328 ribu dolar Singapura, Rp 1 miliar dalam mata uang dollar Amerika Serikat, dan 404 ribu dolar Singapura.
KPK juga turut mencokok dua stafnya, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini. Praktik suap menyuap ini dilakukan agar Damayanti mengusahakan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk proyek jalan di Maluku.
Belakangan, KPK mengembangkannya ke pihak lain. Penyidik telah menetapkan anggota Komisi V DPR Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro dan Kepala Balai Pelaksana Jalan IX Maluku dan Maluku Utara Amran Mustari sebagai tersangka.
Terkait putusan ini, mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP mengaku masih mempertimbangkan untuk banding atau tidaknya. Sementara KPK mengaku ikhlas Damayanti divonis 4 tahun 6 bulan. Lembaga antirasuah itupun tidak akan menempuh upaya hukum yakni banding.
2. OTT Raperda Reklamasi Teluk Jakarta
Pada waktu yang hampir bersamaan, KPK juga menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Gerindra M Sanusi. Ia adalah adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik itu ditangkap lantaran diduga menerima suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja lewat anak buahnya, Trinanda Prihantoro.
Selain Sanusi, KPK menangkap anak buah Sanusi, Gerry Prasetya dan Trinanda. Sementara Ariesman menyerahkan diri ke KPK keesokan harinya. Dari nama-nama itu, hanya Gerry yang tidak dijadikan tersangka oleh KPK.
KPK juga mencegah bos PT Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dan anaknya, Richard Halim Kusuma bepergian ke luar negeri. Mereka dicegah karena KPK masih membutuhkan keterangannya dalam pengembangan kasus ini.
Penangkapan sang anggota dewan ini menjadi yang perhatian publik tersendiri. Karena belakangan kerap menyeret-nyeret nama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
3. Kader Demokrat Kena OTT
Satgas KPK kembali bergerak dan menangkap tangan anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana. Wakil Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu ditangkap di rumah dinas anggota DPR, kawasan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Sebelum menangkap pria berkepala plontos itu, KPK lebih dulu menangkap staf Putu bernama Novianti di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat serta Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Suprapto.
Pada saat bersamaan, KPK juga menangkap pengusaha bernama Yogan Askan di Padang, Sumatera Barat, serta Suhemi di Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Suap kepada Putu ini diduga untuk memuluskan rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumbar senilai Rp 300 miliar. Sedianya, Putu disuap agar mengusahakan anggaran proyek tersebut didanai lewat APBN Perubahan 2016.
Ketua DPD Kena OTT
4. Suap Rp 100 Juta Ketua DPD Irman Gusman
Pada Jumat malam, 16 September 2016, Tim Satgas KPK kembali melakukan OTT. Kali ini Satgas KPK menangkap tangan Ketua DPD Irman Gusman bersama dua orang lainnya, yakni Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Susanto dan istrinya, Memi.
Dalam penangkapan di kediaman Irman di kawasan Jakarta Selatan itu, Satgas KPK juga mengamankan barang bukti uang Rp 100 juta yang diduga merupakan suap dari Xaveriandy dan Memi kepada Irman.
Usai melakukan pemeriksaan, KPK pun menetapkan Irman sebagai tersangka karena diduga menerima uang suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi. Uang diberikan sebagai hadiah kepada Irman yang telah memberikan rekomendasi terkait penambahan kuota distribusi gula impor dari Perum Bulog kepada CV Semesta Berjaya untuk wilayah Sumatera Barat tahun 2016.
Irman kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPD usai penetapan tersangka. Kasusnya saat ini tengah disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5. Suap Wajib Pajak
Tim Satgas KPK kembali beraksi yakni pada Senin 21 November 2016 malam di Springhill Kemayoran, Jakarta Pusat. Ada sejumlah orang yang diamankan Satgas KPK saat itu.
Di antara yang diamankan itu, ada Kepala Subdit Pemeriksaan Bukti Permulaan Direktorat Intelijen dan Penyidikan pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Handang Soekarno dan Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia, Rajesh Rajamohanan Nair. Selain itu, Satgas KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang US$ 148.500.
KPK kemudian menetapkan Handang dan Rajesh sebagai tersangka usai memeriksa secara intensif. Handang diduga menerima uang US$ 148.500 atau setara Rp 1,9 miliar dari Rajesh dengan maksud menghapus kewajiban pajak yang mendera PT EK Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar.
Uang Rp 1,9 miliar yang diberikan itu merupakan pemberian pertama dari Rp 6 miliar yang telah disepakati keduanya untuk melapanenamkan kewajiban pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia ini.
6. Suap Jaksa Pejabat Bakamla
Lagi, pejabat sebuah lembaga diamankan KPK dalam OTT. Ia adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi. Eko yang juga Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Utama Bakamla itu diciduk pada 14 Desember 2016 di 'kandang' sendiri, di kantor Bakamla, Jalan Dr Soepomo, Jakarta Pusat.
Dari OTT diamankan Rp 2 miliar. KPK juga mengamankan dua pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Muhammad Adami Okta (MAO) dan Hardy Stefanus (HST). Di hari yang sama, KPK juga menangkap Danang Sri Radityo di kantor PT MTI di Jalan Imam Bondjol, Jakarta Pusat.
Keempatnya pun dibawa ke KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Usai diperiksa, KPK menetapkan empat orang menjadi tersangkan. Keempatnya adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi, pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, serta Direktur PT MTI Fahmi Darmawansyah.
Fahmi Darmawansyah, istri Inneke Koesherawaty saat OTT tengah berada di Belanda. Namun, ia datang pada Jumat 23 Desember 2016. Sementara Danang Sri Radityo masih berstatus saksi dalam kasus kasus dugaan suap proyek pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Dalam proyek tersebut, menjadi Kuasa Pengguna Anggaran dalam proyek ini. Nilai proyek monitoring satelit ini mencapai Rp 200 miliar dari Rp 400 miliar untuk keseluruhan proyek terkait di Bakamla. Diduga, dalam proyek ini, Eko menerima Rp 2 miliar dari pihak PT MTI.
Uang Rp 2 miliar itu merupakan pemberian pertama. Di mana Eko dijanjikan mendapat 7,5 persen dari nilai proyek Rp 200 miliar tersebut.
Advertisement