5 Kisah Ajaib Saat Tsunami Aceh

Di tengah upaya penyelematan diri dari terjangan tsunami Aceh, sejumlah warga mengalami kisah ajaib. Apa saja?

oleh Windy Phagta diperbarui 26 Des 2016, 09:08 WIB
Gempa dan tsunami Aceh 2004 (Mirror)

Liputan6.com, Jakarta Gempa besar disusul gulungan air laut meluluhlantakkan Aceh 12 tahun lalu. Bencana tsunami 26 Desember 2004 itu pun menyisakan kisah menakjubkan dari sejumlah korban selamat seperti yang dihimpun Liputan6.com berikut ini:

1. Diselamatkan Ular

Umi Kalsum (58), yang dikenal dengan panggilan Mak Sum, selamat dari maut berkat bantuan seekor ular. Pada Minggu pagi 26 Desember 12 tahun silam, Umi Kalsum menuturkan, ia sedang asyik menanam bunga di perkarangan rumahnya di Desa Alu Naga, Kabupaten Aceh Besar. Namun tiba-tiba bumi bergoyang dihempas gempa Aceh berkekuatan 9,1 skala Richter. Beberapa menit setelah gempa orang berlarian sambil berteriak air laut naik.

Belum jauh Umi berlari, tiba-tiba tubuhnya terhempas gelombang tsunami. Umi Kalsum pun hilang kesadarannya karena terombang-ambing gelombang pekat tsunami. "Saya sadar pertama sudah di jembatan ini (Jembatan Kajhu), ya subhanallah mulut ular itu di depan mata saya, tubuh saya itu dililitnya," ujar Umi Kalsum dalam bahasa Aceh.

Awalnya, Umi Kalsum mengira ular tersebut hanyalah sebatang pohon pisang. "Warnanya loreng, sampai di jembatan itu saya sudah sadar. Begitu lihat kepala ular, ya subhanallah, saya cuma berucap selamatkan saya ke darat ya meutuah (mulia)," kenang Umi.

Ular tersebut sebesar tiang listrik. "Ditarik badan saya dari lilitan ular, tiba-tiba ular itu melepas saya dengan meluruskan tubuhnya, dan pergi entah ke mana," ujar Umi.


Bocah Bertahan 21 Hari

Martunis 10 tahun lalu. (istimewa)

Pada 26 Desember 12 tahun silam, kostum timnas Portugal bernomor punggung 10 yang tercantum nama bintang sepak bola dunia Rui Costa, melekat di tubuhnya. Baju itu khusus dibelikan sang ayah karena dia tidak mau nomor punggung lain. Minggu pagi itu dia sedang bermain sepak bola di lapangan belakang rumahnya. Martunis, namanya, dikenal sebagai bocah ajaib.

Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter menghentikan dia dan temannya yang sedang bermain sepak bola. Tak seberapa lama kemudian mobil yang ditumpanginya dihantam gelombang raksasa hingga ia terpisah dengan ibu dan tiga saudaranya. Setelah timbul tenggelam dalam pekat gelombang, Martunis kemudian meraih sebuah kasur dan naik ke atasnya. Namun tidak bertahan lama, kasur pun tenggelam. Ia terus berusaha bertahan hingga bergelantungan pada batang pohon yang hanyut.

Arus pun membawa Martunis berputar-putar hingga dirinya pingsan. Begitu tersadar, ia telah tersangkut di atas pohon bakau di kawasan Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala. "Semuanya rata, saya tak tahu di mana letak kampung saya, yang tampak hanya mayat-mayat," kenang Martunis.

Martunis bertahan selama 21 hari di atas pepohonan dengan ngelimpangan mayat di sana-sini. Untuk bertahan hidup ia memungut makanan dan air mineral yang terseret gelombang. Pada hari ke-21, dua pria yang sedang mencari keluarganya di kawasan tersebut menemukan Martunis. Lantas, Martunis diserahkan kepada wartawan Sky News yang saat itu meliput bencana tsunami di kawasan Deah Raya.


Naik Sepeda dan Berenang

Noni Delfina dengan sepeda yang digunakannya saat tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. (Jim Holmes/Oxfam)

Kakak beradik Noni Delfina dan Nina Delfina adalah korban selamat tsunami yang menggulung Tanah Rencong pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Nina menuturkan kembali ganasnya terjangan tsunami dan perjuangan untuk menemukan sang kakak, Noni.

Ketika tsunami mulai datang, Nina dan Noni meninggalkan rumah mereka. "Tapi kami dipisahkan, aku menumpang sepeda motor saat turun ke jalan. Sedangkan Noni memilih pergi dengan sepedanya," ucap Nina.

Nina sempat melihat Noni kelelahan menaiki sepedanya sebelum akhirnya dipisahkan. Wanita yang kini berusia 34 tahun itu pun mengingat gelombang tsunami datang tiga kali dengan jarak waktu 15 menit. Setelah berjuang 5 jam, Nina akhirnya bisa menyelamatkan diri. Ia terseret ke lantai dua sebuah bangunan, sehingga dapat beristirahat dan berdoa. Selanjutnya, Nina menuju bukit dengan berenang.

"Kami dulu peselancar. Kami berdua mencintai pantai. Kami memahami air dan bisa berenang. Meskipun demikian, saya masih mengingat saat-saat mengerikan ketika berenang di tengah gelombang tsunami, berenang melalui tubuh manusia dan sampah. Berselancar di laut tidak ada itu semua, dan air laut bening."


Kembali Setelah 10 Tahun Hilang

Fanisa, korban tsunami Aceh.

Sepuluh tahun menghilang, Fanisa Rizkiam, akhirnya kembali ke kampung halamannya di Aceh. Fanisa, 15 tahun, dipulangkan dari Malaysia, Jumat, 19 Desember 2014 pagi, melalui Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.

Fanisa merupakan salah satu korban tsunami Aceh yang selamat. Ketika bencana tsunami menerjang kampung halamannya pada 26 Desember 2004 lalu, Fanisa masih 5 tahun. Dia terpisah dari orangtua dan keluarganya.

Tanpa bisa mengingat kejadiannya, Fanisa kemudian tinggal dan menjadi TKI di Malaysia. Keberadaan Fanisa diketahui setelah pemerintah Aceh mendapat informasi dari KBRI di Malaysia bahwa ada anak di bawah umur asal Aceh yang dipekerjakan jadi TKI.

"Setelah ditelusuri ternyata Fanisa anak korban tsunami," ujar Kepala Dinas Sosial Aceh Bukhari, saat tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, Jumat (19/12/2014).


Kubah Penyelamat

Kubah Masjid Al-Tsunami yang hanyut oleh gelombang tsunami Aceh (Liputan6.com/Windy Phagta)

Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi bencana terbesar di abad 21. Jejak kedahsyatan gelombang tsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa itu bahkan masih bisa disaksikan hingga kini.

Salah satu bukti kedahsyatan itu adalah berpindahnya kubah masjid berbobot 80 ton di Desa Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar. Kubah yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Tsunami ini dulunya merupakan kubah masjid Jamik di Desa Lamteungoh, Peukan Bada, Aceh Besar.

Saat gelombang tsunami menerjang Aceh pada 2004, seluruh bangunan masjid rusak dan hanya menyisakan kubah masjid berdiameter 4x4 meter. Kubah itu terbawa arus gelombang sejauh 2,5 kilometer dan terdampar di Desa Gurah.

Berpindahnya kubah masjid ini di luar nalar manusia. Kubah 80 ton itu terombang-ambing gelombang tsunami melewati permukiman warga. Kejadian ini belakangan melahirkan cerita yang menyebutkan kubah diangkat oleh salah satu ulama besar Aceh bersama tiga muridnya hingga berpindah posisi.

Kubah itu juga disebut sebagai kapal penyelamat. Banyak orang menyelamatkan diri dengan naik ke atas kubah saat tsunami menerjang. Awal kubah ditemukan, warga juga menemukan beberapa kitab suci Alquran yang telah terendam gelombang tsunami di lokasi kubah. Saat ini Alquran yang telah hancur itu disatukan dalam sebuah wadah kaca.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya