Liputan6.com, Jakarta- Sejak rokok tercipta, keberadaannya terus menuai pro dan kontra. Bagi para penikmatnya, rokok seakan menjadi kebutuhan yang tak bisa mereka tinggalkan. "Mulut asem kalau belum merokok," itu kata para pecandu rokok.
Tak heran banyak perokok sulit melepaskan ketergantungan dari produk berbahan dasar tembakau dan cengkih ini. Mereka pun akan tetap membelinya meski harga rokok naik saban tahun.
Sebaliknya, bagi para penentang rokok, mereka terus berupaya memangkas kehadiran rokok di masyarakat. Tujuannya, agar produk rokok bisa menghilang di masyarakat, pelan tapi pasti.
Advertisement
Aspek kesehatan yang mendasari para penggiat anti rokok tersebut. Berbagai cara mereka upayakan agar masyarakat penikmatnya mau behenti merokok, demi menjaga kesehatan mereka.
Seperti pada Agustus lalu, muncul wacana untuk menaikkan harga rokok dengan besaran yang cukup tinggi. Harga rokok diusulkan naik menjadi Rp 50 ribu per bungkus, dari saat ini di kisaran Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu per bungkus.
Usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus merupakan hasil studi dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
Studi ini mengungkap kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Hasilnya 80 persen bukan perokok setuju jika harga rokok naik.
"Dalam studi ini, para perokok bilang kalau harga rokok di Indonesia naik jadi Rp 50 ribu per bungkus, mereka akan berhenti merokok. Belum lagi ada tambahan dana Rp 70 triliun untuk bidang kesehatan," terang Hasbullah.
Bea Cukai Kaji Usulan Harga Rokok Naik
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) ternyata ikut mengkaji wacana kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus.
Unit Eselon I ini mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi dari rencana kenaikan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.
"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi.
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.
"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.
Kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.
"Kalau dia (tarif cukai rokok) sudah lewat dari kurva optimum, pasti ada dampak negatifnya, yakni bisa mati (perusahaan) atau banyak rokok ilegal. Makanya kita harus cari titik optimum," terangnya.
Dia berharap, tarif cukai di Indonesia dapat naik secara bertahap sesuai dengan peta jalan (roadmap) pemerintah sehingga tidak menimbulkan efek buruk yang berakibat pada kerugian ekonomi.
Ditolak Industri Tembakau
Keputusan pemerintah untuk mempertimbangkan usulan kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu menuai protes industri.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan cukai rokok yang berlebihan ini akan membahayakan industri rokok itu sendiri. Padahal saat ini perusahaan rokok sebagai penyumbang pajak ke negara yang cukup signifikan.
"Suatu barang apapun kalau kenaikannya harganya terlalu berlebihan itu sangat fenomenal, akibatnya akan banyak," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Salah satu yang dipastikannya adalah perusahaan rokok akan menurunkan produksinya. Secara jangka pendek, hal itu juga akan memicu pengurangan jumlah karyawan. Padahal, selama ini perusahaan rokok menjadi industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.
Ditambahkan Muhaimin, saat ini saja para pelaku industri rokok tengah menghadapi tantangan di mana selama dua tahun bertutur-turut produksi mereka tidak mengalami peningkatan. "Kalau ditambah ini (cukai rokok naik), ini justru menimbulkan resiko munculnya peredaran rokok-rokok ilegal," tegas dia.
Untuk itu dia meminta pemerintah terlebih dahulu melihat beberapa aspek sebelum menaikkan cukai rokok tersebut. Seluruh sektor mulai dari para petani, pelaku industri hingga ke konsumen harus menjadi pertimbangan.
Resahkan Petani
Isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu membuat petani resah. Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus, merusak harga jual tembakau petani di daerah.
Pasalnya wacana ini menjadi dasar tengkulak untuk menakut-nakuti petani tembakau di daerah. Para tengkulak tersebut menakuti petani dengan menyatakan hasil tembakaunya tidak akan diserap industri. Hal ini karena harga produk rokok yang naik akan membuat industri menurunkan kapasitas produksinya.
“Para tengkulak sekarang secara eksesif menakut-nakuti petani agar bersedia melepas panen tembakaunya dengan harga rendah. Alasannya, industri hasil tembakau (IHT) tahun ini akan sedikit menyerap tembakau milik petani, karena harga rokok akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu. Kondisi ini sangat meresahkan petani tembakau, khususnya di Jawa Timur,” ujar dia.
Ancaman dari para tengkulak ini diterima oleh para petani tembakau di Pamekasan dan Sumenep, Madura. Soeseno mendapat laporan, para tengkulak memanfaatkan isu kenaikan harga rokok Rp 50 ribu ini untuk menekan harga beli tembakau milik petani.
Bukan hanya berdampak ke petani tembakau. Hal tersebut juga menjadi ancaman bagi petani cengkeh di daerah.
Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Dahlan Said mengatakan, produksi cengkeh Indonesia berkisar antara 100 ribu-110 ribu ton per tahun. Dari jumlah tersebut, 93 persennya diserap oleh industri rokok sebagai bahan baku campuran tembakau.
"Jadi 93 persen itu untuk industri rokok, sedangkan 7 persennya kosmetik, bumbu, dan lain-lain. Di tiap batang, untuk rokok putih itu kandungannya 0,1 persen. Kalau SKT (sigaret kretek tangan) itu 3,6 persen. Kalau produksi rokok turun, bagaimana nasib petani cengkeh?," ujar dia.
Advertisement
Sumbang Inflasi
Meski baru sebatas wacana dan kajian, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jika isu kenaikan harga jual rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus telah mengerek harga hasil tembakau ini di sejumlah daerah. Akibatnya rokok menyumbang inflasi di Manokwari dan Sorong masing-masing 1,27 persen pada Agustus.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengumumkan pencapaian deflasi 0,02 persen di Agustus 2016. Namun di beberapa daerah malah mencetak inflasi, seperti di Manokwari dan Sorong dengan realisasi inflasi tertinggi, masing-masing 1,27 persen.
"Inflasi disebabkan karena isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu, sehingga sudah berpengaruh terhadap peningkatan harga jual rokok di pedagang eceran di daerah tersebut," jelas dia.
Diakui Sasmito, pedagang eceran di beberapa daerah telah menyesuaikan harga jual rokok per bungkus sekitar Rp 100 sampai Rp 200. Sehingga dampak terhadap konsumsi maupun inflasi belum signifikan meskipun inflasi karena harga rokok sudah terjadi, selain Manokwari dan Sorong.
"Harga sudah naik, begitu ada isu harga jadi Rp 50 ribu dan penyesuaian cukai rokok, pedagang langsung deh naikin harga. Misalnya per bungkus Rp 15 ribu, dijual Rp 15.200, jadi kan tidak terasa," papar dia.
Dia mengaku, BPS melakukan survei khusus untuk mengetahui pengaruhnya ke konsumsi masyarakat bila harga rokok Rp 50 ribu per bungkus.
"Tapi kalau itu terjadi, pencandu rokok pasti cari alternatif misalnya hisap rokok elektrik atau bikin rokok klobot bagi orang miskin di perdesaan. Perlu diingat juga, harga rokok yang mahal akan memicu peredaran rokok ilegal tanpa dikenakan cukai," jelas Sasmito.(Nrm/Ndw)