Liputan6.com, Jakarta Emas dianggap sebagai investasi yang aman bagi investor, saat terjadi guncangan di pasar. Kondisi ini yang biasanya mendorong harga emas naik.
Pada tahun ini, harga emas sempat melonjak setelah Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Namun, sejak November harga emas terus jatuh di posisi sekitar US$ 1.133 dari posisi tertingginya US$ 1.372 per ounce pada Agustus. Harga emas turun usai munculnya keyakinan jika guncangan pasar yang terjadi sepanjang tahun akan kembali pulih.
Khusus di tahun depan, para ahli mengatakan pola yang sama bisa terjadi pada harga emas, di tengah kekacauan politik di Italia dan pemilu Perancis serta Jerman.
Baca Juga
Advertisement
Julian Jessop dari Capital Economics, seperti mengutip express.co.uk, Selasa (27/12/2016) memprediksi permintaan akan mendorong harga emas ke posisi US$ 1.050 pada akhir 2017.
"Satu pelajaran dari tahun 2016 adalah permintaan safe haven dapat menguat sedikit saat terjadi guncangan politik yang besar," jelas dia.
Namun dia menambahkan guncangan baru pada tahun 2017 mungkin tidak begitu lemah.
"Dan perlu ditekankan bahwa Brexit belum terjadi dan Trump belum menjadi Presiden, sehingga masih ada banyak waktu untuk kembali terjadinya guncangan dari 2016," dia menambahkan.
Harga emas juga bisa tetap di bawah tekanan seiring penguatan dolar, yang membuat komoditas lebih mahal bagi investor.
Mata uang AS ini melonjak pada tahun ini setelah Federal Reserve AS menaikkan suku bunga dan diprediksi akan terjadi kembali pada 2017.
Sheridan Admans, Manajer Riset Investasi The Share Centre, mengatakan para pengamat emas memiliki berbagai pandangan soal harga emas dalam jangka menengah.
"Apa yang kita bisa yakini dalam masa ketidakpastian pasar emas cenderung adil dan relatif baik. Kita juga tahu bahwa emas baik ketika dolar AS melemah," kata dia.
Dia menilai, investor juga menghargai emas yang merupakan lindung nilai yang baik terhadap inflasi.
"Harga emas juga tetap kuat terhadap aset lainnya saat deflasi, dan cenderung bereaksi positif ketika negara-negara berkembang sedang tumbuh," dia menandaskan.