Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, Dana Moneter Internasional (IMF) meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan kembali larangan ekspor nikel. Begitu pula dengan sejumlah negara lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menilai, apa yang sudah diputuskan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pastilah sudah dipikirkan dengan baik.
Advertisement
"Sampai detik ini, IMF dan negara-negara asing terus memborbardir dan menekan Presiden Jokowi yang tetap pada keputusannya untuk hilirisasi Nikel, yaitu menghentikan ekspor bahan mentah nikel berganti dengan eksport bahan yang sudah jadi. Keputusan ini sudah berjalan dan sangat menguntungkan Indonesia," ujar Teddy melalui keterangan tertulis, Kamis (10/8/2023).
"IMF dan negara-negara asing makin tidak nyaman ketika Jokowi menyatakan bahwa hilirisasi ini bukan hanya untuk nikel, karena berencana akan melakukan hilirisasi pada tembaga, kobalt, bauksit dan bahan tambang lainnya," sambung dia.
Teddy menyebut, semakin asing menekan, maka akan makin keras Presiden Jokowi bersikap agar kekayaan alam benar-benar bisa dinikmati oleh Indonesia.
"Karena kengeyelan itu, maka muncullah pihak-pihak asing, orang-orang lokal yang menyerang kebijakan hilirisasi Jokowi dengan berbagai fitnah. Seolah-olah apa yang dilakukan Jokowi itu tindakan yang salah," ucap dia.
"Eksport Nikel mentah, nilai ekspornya Rp17 triliun, sedangkan ekspor nikel bahan jadi, nilai ekspornya Rp510 triliun. Dengan hilirisasi, nilainya melonjak 30 kali lipat dibandingkan tidak hilirisasi. Tentu aneh dan tidak normal jika ada pihak lokal yang menentang dan menyerang keputusan Jokowi terkait hilirisasi," jelas Teddy.
IMF Minta Indonesia Hapus Larangan Ekspor Nikel
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi sorotan terkait publikasi terbarunya yang membahas kebijakan hilirisasi di Indonesia.
Kebijakan hilirisasi yang dibahas IMF adalah larangan ekspor nikel. IMF menyebut, Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan itu secara bertahap dan tidak memperluasnya pada komoditas lain.
"Potensi manfaat jangka panjang dari kebijakan hilirisasi perlu dipertimbangkan terhadap biayanya, yang mencakup limpahan lintas batas," tulis IMF dalam laporan Article IV Consultation, dikutip Rabu 28 Juni 2023.
"Biaya fiskal dalam hal pendapatan (negara) tahunan hilang saat ini tampak kecil, dan harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," tambahnya.
IMF mengatakan, diperlukan adanya analisa rutin terkait biaya dan manfaat dari hilirisasi, juga perlu diinformasikan dengan menekankan pada keberhasilan serta apakah ada urgensi perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan limpahan lintas batas yang negatif," jelas lembaga itu.
"Dalam konteks ini, pihak berwenang harus mempertimbangkan kebijakan dalam negeri yang mencapai tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus pembatasan ekspor secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tambah IMF.
Advertisement
Fokus Indonesia Saat Ini
Seperti diketahui, Indonesia tengah berfokus melakukan kegiatan hilirisasi pada komoditas bahan mineralnya dalam upaya mendapatkan nilai tambah, salah satunya pada nikel.
Dalam hal nikel, IMF mencatat, Indonesia memiliki cadangan yang besar, dan telah terjadi peningkatan investasi asing langsung untuk mengolah bijih nikel serta peningkatan nilai ekspor.
Selain itu, Indonesia juga menjajaki peluang domestik dari nikel untuk pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, yang selanjutnya akan meningkatkan nilai tambah ekspor.
Dalam paparannya, IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh moderat di kisaran 5 persen tahun ini, setelah tumbuh 5,3 persen 2022 lalu.
IMF menjelaskan, penurunan ini dipicu oleh lesunya permintaan dari mitra dagang Indonesia. Selain itu, Indonesia juga diramal akan menghadapi tekanan dari sisi permintaan domestik.
"Pemulihan permintaan domestik pada tahun 2023 juga akan menghadapi hambatan dari kebijakan konsolidasi fiskal terkini dan sikap kebijakan moneter yang lebih ketat, yang menyebabkan pertumbuhan kredit lebih lambat," ungkap IMF dalam laporannya.