Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan fiskal dan moneter pada tahun ini terlihat tidak akur. Perbankan dan pemerintah saling berebut dana, menawarkan tingkat bunga surat utang (obligasi) menarik sehingga terjadi pengetatan likuiditas.
Pengamat Ekonomi Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, terjadi perang likuiditas di pasar obligasi antara pemerintah dan perbankan. Pemicunya karena pemerintah agresif menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) .
Langkah pemerintah ini untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diproyeksikan 2,7 persen terhadap PDB hingga akhir tahun ini.
"Karena pemerintah agresif menerbitkan SBN, ini menjadi pesaing bagi obligasi dan deposito perbankan. Bagaimana tingkat bunga kredit mau single digit, kalau dana deposito perbankan masih mahal akibat perebutan likuiditas," ucap dia saat Diskusi Akhir Tahun di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Dijelaskan Bhima, waktu penerbitan SBN oleh pemerintah kerap bertabrakan dengan jadwal penerbitan obligasi dan surat utang perbankan. Akibatnya, sambung dia, ketika menerbitkan obligasi, bank harus menawarkan tingkat bunga lebih tinggi dan menarik dibanding SBN.
Baca Juga
Advertisement
"Akhirnya perbankan dengan kredit lesu, membuat perbankan lebih bermain aman dengan menempatkan dana di surat berharga. Jadilah fenomena lazy bank, bank malas salurkan kredit sehingga ada uang nganggur sampai Rp 1.200 triliun lebih," terangnya.
Dari catatan Bhima, per 9 November 2016, perbankan memiliki SBN yang dapat diperdagangkan senilai Rp 435,13 triliun atau naik 12,99 persen dibanding posisi 4 Januari 2016 (year to date). Porsi kepemilikan SBN dalam denominasi rupiah oleh bank mencapai 24,73 persen dari total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.
Kemudian ada kebijakan prefunding atau penarikan di awal untuk belanja fiskal awal 2017 sebesar Rp 116 triliun. Dalam merealisasikan strategi ini, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp 63,5 triliun. Di sisi lain, yield yang ditawarkan SBN relatif tinggi 8-9 persen sehingga perbankan harus mengeluarkan biaya tinggi dalam menghimpun dana.
"Kondisi miss koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan saling berebut dana, pada akhirnya cost of fund perbankan masih mahal," terang dia.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi Indef lainnya, Imaduddin Abdullah menuturkan, pemerintah berlomba menerbitkan surat utang untuk mengantisipasi ancaman defisit fiskal di APBN-P 2016. Defisit anggaran sudah mencapai Rp 268,3 triliun atau 90,4 persen dari target APBN-P 2016. Target hingga akhir tahun ini 2,7 persen dari PDB.
"Jadi tidak heran kalau realisasi pembiayaan sudah lebih dari 100 persen. Karena untuk membiayai defisit APBN, pemerintah terus mengeluarkan SBN yang nilainya melonjak dalam 2 tahun terakhir. Langkah ini memicu perang suku bunga dengan perbankan," jelas Imaduddin. (Fik/Gdn)