KOLOM: Selamat Tinggal Tahun Penuh Kejutan!

Tahun 2016 menjadi tahun penuh kejutan di dunia sepak bola. Simak ulasan Asep Ginanjar soal ini.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Des 2016, 08:12 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Pergantian tahun sudah di depan mata. Di kancah sepak bola, 2016 adalah sebuah anomali. Tahun yang dipenuhi banyak kejutan. Tahun pesta para semenjana, sejarah-sejarah baru, dan kiprah gemilang tim debutan.

Di pengujung tahun ini, kita melihat RasenBallsport Leipzig, klub debutan Bundesliga, yang setia menguntit Bayern München di puncak klasemen. Di Ligue 1, OGC Nice menguasai puncak klasemen sejak pekan ke-6 hingga menjadi juara paruh musim atau Champion d'automne.

Sebelumnya, kejutan besar dibuat Leicester City di Premier League. Tim asuhan Claudio Ranieri menjuarai kompetisi terelite di Inggris tersebut untuk kali pertama sepanjang sejarah. Padahal, musim sebelumnya, The Foxes hanya finis di posisi ke-14. Sejak era Premier League, Wes Morgan cs. menjadi klub pertama yang juara walau musim sebelumnya finis di luar tiga besar.

Kejutan juga terjadi di kancah Piala Eropa. Portugal yang tak meyakinkan sejak penyisihan grup sanggup merebut trofi Piala Eropa dengan mengalahkan tuan rumah, Prancis, berkat gol tunggal Eder di partai puncak. Itu adalah kesuksesan pertama Seleccao das Quinas di kejuaran besar. Sebelumnya, prestasi terbaik mereka hanyalah runner-up Euro 2004 saat menjadi tuan rumah.

Neymar dan Gabriel Jesus adalah kunci kemenangan 6-0 Brasil atas Honduras di semifinal Olimpiade 2016 Rio de Janeiro. (REUTERS/Bruno Kelly)

Di kancah Olimpiade, Brasil dan Jerman mengakhiri penantian panjang. Brasil untuk kali pertama merebut medali emas cabang sepak bola putra dengan menaklukkan Jerman lewat adu penalti. Di cabang sepak bola putri, Jerman melakukan hal serupa. Mereka menang 2-1 atas Swedia di partai puncak.

Langkah mengejutkan juga dibuat Zinedine Zidane di Liga Champions. Diangkat sebagai pelatih anyar Real Madrid pada pertengahan musim 2015-16, eks playmaker timnas Prancis itu mengantar timnya juara dengan mengalahkan Atletico Madrid di final. Dia menyamai jejak Roberto Di Matteo bersama Chelsea pada 2011-12.

Dari Benua Amerika, jejak fenomenal ditorehkan Atletico Chapecoense. Klub semenjana asal Brasil itu nyelonong ke final Copa Sudamericana untuk menghadapi Atletico Nacional dari Kolombia. Sayang, kecelakaan pesawat membuat mereka urung menjalani laga final walaupun tetap ditahbiskan sebagai juara berkat permintaan Nacional yang dikukuhkan putusan Conmebol.

Pemain Timnas Indonesia merayakan gol yang dicetak Hansamu Yama Pranata (23) saat laga final pertama Piala AFF 2016 melawan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). Indonesia unggul 2-1 atas Thailand. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Bukan hanya di negara-negara lain, tahun anomali juga berlaku di Indonesia. Tepatnya di ajang Piala AFF. Timnas Indonesia yang semula diragukan berprestasi karena menghadapi banyak kendala, justru sanggup melaju ke partai puncak walaupun akhirnya harus mengakui kekalahan agregat 3-2 dari Thailand.

Sepanjang turnamen, hanya sang juara yang mengalahkan Indonesia. Sekali di penyisihan grup, sekali di partai final. Namun, Indonesia juga satu-satunya tim yang sanggup menang atas sang juara, yakni pada final pertama dengan skor 2-1.


Kejutan Lanjutan

Kejutan-kejutan itu membuktikan ungkapan Der Ball ist Rund. Karena bentuknya yang bulat, bola bisa bergulir ke segala arah dengan kemungkinan yang sama. Tak ada yang mustahil. Prestasi bukan hanya milik tim-tim besar dengan tradisi kuat, melainkan juga bisa direngkuh tim-tim semenjana.

Rentetan kejutan sepanjang 2016 pun membuktikan bahwa kesuksesan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor teknis semata. Faktor-faktor nonteknis, terutama luck dan motivasi juga ikut menentukan.

Asa melihat kejutan serupa berlanjut pada tahun depan tetap besar. Thomas Berthold, eks defender timnas Jerman, di laman Deutsche Welle terang-terangan ingin melihat kejutan besar di Bundesliga. "Semoga Bayern gagal menjadi juara lagi walaupun alternatifnya cuma RB Leipzig!" harap dia.

Di Prancis, harapan melihat juara baru juga terbilang kuat. Kebosanan melanda karena Paris Saint-German selalu menjadi yang terbaik dalam empat musim terakhir. Geliat Nice membuat harapan itu sangat beralasan. Setidaknya, dalam empat dekade terakhir, lebih dari 50 persen Champion d'automne bisa mengakhiri kompetisi sebagai kampiun.

Ekspresi para pemain RB Leipzig usai kalah 0-3 dari Bayern Munich pada lanjutan Bundesliga Jerman di Stadion Allianz-Arena, (21/12/2016). Bayern menang 3-0. (REUTERS/Michael Dalder)

Rolland Courbis, pelatih kawakan Prancis yang pernah menangani Olympique Marseille, Girondins Bordeaux, dan HSC Montpellier, adalah salah satu yang mengharapkan hal itu. "Tanpa cedera pemain, tak lagi berpartisipasi di Eropa, sonder berlaga di Coupe de France lagi, mengapa tidak?" ujar dia di Radio RMC.

Pelatih Toulouse, Pascal Dupraz, sependapat dengan Courbis. Usai timnya kalah 0-3 dari Nice, awal Desember lalu, dia berkata, "Nice membuat saya berpikir tentang Leicester musim lalu. Mereka punya kedinamisan, kesegaran, fondasi teknik yang baik, dan pemain-pemain pilar oke. Saya melihat Nice membuat banyak kemajuan."

Kiprah Nice memang mengingatkan pada Leicester. Namun, langkah mereka tampaknya akan lebih berat. Meski menguasai klasemen dalam 13 pekan, anak-anak asuh Lucien Favre belum menunjukkan konsistensi performa. Itu yang membuat mereka kini hanya unggul dua poin dari AS Monaco yang jauh lebih produktif. Armada Leonardo Jardim bisa saja membuyarkan impian Dante dkk. membuat dongeng indah seperti The Foxes.


Tantangan Berat

Bila menengok ke belakang, tahun penuh kejutan memang tak muncul secara beruntun. Ambil contoh 2004. Ketika itu, Yunani juara Euro, FC Porto dan Monaco bertemu di final Liga Champions, dan SV Werder Bremen juara Bundesliga.

Tahun berikutnya, kejutan serupa tak muncul. Jikapun dipaksakan, mungkin yang terbilang mengejutkan adalah keberhasilan Liverpool menjuarai Liga Champions lewat adu penalti walaupun sempat tertinggal 0-3 dari AC Milan pada babak pertama.

Itu karena tim-tim besar dengan tradisi juara biasanya melakukan pembenahan serius setelah musim penuh kejutan. Mereka terlecut untuk mencegah hal serupa terulang. Mereka tak sudi kehilangan muka dua kali.

Musim ini, gejala itu sudah terlihat di Premier League. Papan atas saat ini kembali dikuasai tim-tim besar. Adapun Leicester, sang juara bertahan, kembali ke khitah sebagai tim semenjana. Walau lolos dari fase grup Liga Champions, The Foxes terseok-seok di papan bawah.

Pau Norbert Cebrian Devis (paling kanan), asisten wasit El Clasico, 3 Desember 2016. (Marca).

Di Italia dan Spanyol, klub-klub tradisional juga masih dominan. Sulit berharap muncul juara baru di Serie A dan La Liga. Di Italia, sepertinya Juventus lagi-lagi akan merebut Scudetto keenam secara beruntun. Di Spanyol, gelar juara tampaknya bakal tetap jadi milik Madrid atau Barcelona.

Meski demikian, kejutan bukan tak mungkin muncul. Kans terbesar ada di Prancis dan Jerman. Namun, melihat gelagat yang ada, sepertinya gelar juara akan tetap jadi milik tim-tim besar, bukan mereka yang semenjana. Bayern di Bundesliga serta Monaco atau PSG di Ligue 1 tak akan membiarkan klub semenjana meraja.

Di Liga Champions, walaupun banyak klub semenjana yang lolos dari fase grup, kans juara tetap milik para langganan. Madrid, Barcelona, dan Bayern tetap jadi favorit juara. Jikapun muncul juara baru, sangat mungkin itu adalah Juventus yang menunjukkan performa apik di ajang ini dalam beberapa musim terakhir.

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya