Liputan6.com, Jakarta - Tantangan baru ekonomi Indonesia telah hadir. Tantangan tersebut bukanlah sekadar masalah yang kerap kali terdengar seperti kondisi global yang tidak menentu apalagi, sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS).
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali menyebut tantangan baru ini dengan sebutan 'lawan-lawan tak kelihatan'. Rhenald menerangkan, lawan yang tidak terlihat tersebut mewujudkan kompetisi yang bersifat baru.
"Seperti Blue Bird dan Express yang kecolongan Grab dan Uber. Lawan itu datang tanpa logo, tanpa plat nomor kuning, dan tak ada tulisan taksi. Tahu-tahu armada itu sudah besar dan menggerogoti penerimaan perusahaan," kata dia dalam ulasannya, seperti ditulis di Jakarta, Sabtu (31/12/2016).
Dua operator angkutan itu mengalami kerugian yang cukup signifikan. Express tercatat rugi Rp 81 miliar pada kuartal III 2016. Laba Bluebird juga turun dari Rp 625,42 miliar ke Rp 360 miliar. Rhenald melanjutkan, lawan tak terlihat itu juga telah mengusik para pemilik hotel.
Baca Juga
Advertisement
"Faktanya, para traveler pemula (the millenials) tengah beralih dari hunian hotel ke penginapan-penginapan berbasiskan sharing economy seperti Airbnb dan Couchsurfing. Di Bali, di sepanjang Jalan Sunset Road, tumbuh rumah-rumah kos elit yang ditawarkan dengan pola ini," jelas dia.
Dia mengatakan, kelak restoran-restoran juga akan kehilangan pengunjungnya. Lantaran, adanya tawaran makan dengan adanya platform sharing economy.
Lawan tak terlihat juga terjadi produk sehari-hari seperti makanan. Sejak tahun 2009 konsumen kelas menengah sudah mulai meninggalkan makanan dalam kemasan.
"Di berbagai kota besar di Indonesia kita saksikan rombongan tukang sayur bersepeda motor semakin banyak mendatangi kawasan perumahan. Lalu toko buah-buahan segar (dan sayuran) tumbuh pesat. Di Amerika Serikat sendiri, sejak tahun itu 25 produsen utama makanan olahan telah kehilangan pendapatan sebanyak US$ 18 miliar," ujar dia.
Nyatanya, lawan tak terlihat juga menjadi ancaman pada angkutan laut. Hal ini menyusul bangkrutnya perusahaan raksasa Hanjin, Korea Selatan. Padahal, perusahaan ini menguasai 3 persen pasar dunia. Rhenald mengatakan, umumnya sejumlah analis menuding hal tersebut dampak dari pelemahan ekonomi dan harga komoditas.
"Tetapi fenomena ini sebenarnya tak berbeda jauh dengan fenomena bisnis taksi, sebab shipping company kini tak perlu lagi mempunyai kapal sendiri. Cukup menjadi operator saja," ujar dia.
Namun, tak selamanya buruk. Lawan tak terlihat ini sebenarnya bisa menjadi pendukung usaha bila termanfaatkan dengan baik.
"Djakarta Lloyd yang dulu juga sempat terancam bangkrut (antara 2008-2013 rugi terus dengan total Rp 554 miliar) kini sudah kembali sehat (tahun 2016 laba bersih Rp 40 miliar) sebagai operator company," ujar dia.