Liputan6.com, Jakarta Riset yang dirilis JP Morgan Chase Bank NA memicu reaksi keras dari pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah memutus kontrak dengan lembaga keuangan ini sebagai bank persepsi dan penjual utama (primary dealer) obligasi Indonesia per 1 Januari 2017.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara menjelaskan hasil riset JP Morgan yang disebut-sebut dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional karena memangkas rekomendasi aset obligasi Indonesia dari overweight menjadi underweight tanpa analisis yang tidak kredibel.
"Penurunan rekomendasi dari overweight atau yang berarti boleh banyak di dalam portofolio mereka (JP Morgan) langsung ke underweight. Itu artinya dua level turunnya karena bawahnya overweight, yakni neutral, lalu terakhir underweight," kata Suahasil saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengungkapkan, pasca pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) pada pertengahan November lalu, JP Morgan mengatur ulang kepemilikan obligasi Indonesia dan negara lain. Rekomendasinya untuk kepemilikan aset Indonesia menjadi underweight dari sebelumnya overweight.
Selanjutnya atas riset tersebut, kata Suahasil, pemerintah meminta penjelasan dari JP Morgan. Menurut dia, ada kejanggalan dalam analisis JP Morgan karena pemerintah melihat rekomendasi Brasil hanya turun satu level dari overweight ke neutral.
"Ini kan aneh, padahal kalau melihat kondisi ekonomi Brasil, apalagi politiknya lebih kacau balau dibanding Indonesia. Presiden Brasil itu dimakzulkan dengan proses politik, tapi rekomendasi mereka oleh JP Morgan neutral. Ini tidak masuk akal," tegas Suahasil.
Suahasil bingung dengan cara penilaian JP Morgan terhadap kondisi ekonomi dan politik Indonesia yang sebetulnya lebih baik ketimbang Brasil. Dia mengatakan, JP Morgan melakukan riset dana asing sedang keluar dari Indonesia dan heboh aksi damai di Jakarta belum lama ini.
"Kita konfirmasi karena assessment mereka tidak kredibel, tidak masuk akal. Penjelasan mereka pun tidak tegas, nggak tahu tuh bagaimana cara melihatnya, wong kondisi ekonomi kita tidak jelek kok, APBN sehat, fundamental baik, bahkan Fitch mengafirmasi outlook kredit Indonesia ke level positif," dia menerangkan.
Kesalnya lagi, Suahasil menuturkan, JP Morgan menganggap Indonesia hanya sebagai negara sasaran spekulasi. Pemikiran tersebut dianggap sudah bertolakbelakang dengan pemerintah. Padahal selama ini, lembaga keuangan tersebut bekerjasama dengan pemerintah Indonesia menjadi bank persepsi dan penjual obligasi negara.
"Ada bahasa-bahasa sekedar taktik di dalam bahasa mereka, Indonesia jadi sasaran spekulasi. Indonesia mau dijadikan tempat spekulasi, kalau ada spekulan pemerintah yang nanggung, mereka tidak mau nanggung. Ini kan namanya maindset kita tidak sama," paparnya.
Diakui Suahasil, rekomendasi JP Morgan tentu berpengaruh terhadap pasar internasional. Sejatinya sebagai sebuah mitra pemerintah, dia berharap, JP Morgan ikut bersama-sama menjaga stabilitas Indonesia. Sebab selama ini, mereka berbisnis di negara ini.
"Riset mau begitu silakan saja, tapi kalau sudah banchmark dengan negara lain apalagi Brasil, riset jadi tidak kredibel, mengganggu stabilitas tapi masih minta bisnis ke pemerintah. Fitch saja melihat potensi yang baik buat Indonesia," dia menegaskan.
Atas dasar itulah, Kemenkeu memutus kontrak atau tidak menggunakan jasa JP Morgan sebagai bank persepsi dan primary dealer. Buat pemerintah Indonesia, diakui Suahasil, pemutusan kerjasama ini tidak akan merugikan pemerintah karena masih ada puluhan bank persepsi lain yang dapat membantu pemerintah menampung penerimaan negara dari masyarakat.
"Yang penting APBN kita aman, stabilitas ekonomi dan politik dijaga terus, fundamental oke. Putus kerjasama dengan mereka tidak ada pengaruhnya, masih banyak puluhan bank persepsi dan primary dealer lain," tutup Suahasil.(Fik/Nrm)