Liputan6.com, Manila - Meski Filipina-China tengah hangat-hangatnya, namun Manila menegaskan tidak akan memutuskan hubungan dengan sekutu lamanya, Amerika Serikat (AS). Hal tersebut disampaikan oleh Duta Besar Filipina untuk Tiongkok, Jose "Chito" Sta. Romana.
Menurut Romana, pihaknya saat ini tengah melakukan perubahan strategis dalam kebijakan luar negeri. Pernyataan diplomat senior Filipina ini menjawab tanda tanya besar mengingat sikap Presiden Rodrigo Duterte yang berkali-kali mengatakan akan bercerai dari AS dan merapat ke China.
Advertisement
"Kami seimbang dalam mendukung AS. Kami tidak meninggalkan aliansi kami dengan AS. Dan pada dasarnya kami berusaha untuk menormalisasi hubungan kami dengan China," kata Romana seperti dilansir Russian Today, Selasa, (3/1/2017).
"Sebelumnya, Tiongkok melihat Filipina sebagai pion geopolitik atau Kuda Troya AS. Tapi sekarang mereka menganggap kami sebagai tetangga yang ramah," tambahnya.
Filipina telah menjadi salah satu sekutu terlama dan paling setia bagi AS di kawasan Asia Selatan. Namun hubungan kedua negara menghadapi tantangan besar ketika Presiden Duterte memegang tampuk kekuasaan. Dalam berbagai kesempatan ia mengancam akan membubarkan aliansi Filipina-AS.
Ketegangan antara kedua negara meningkat setelah Duterte melancarkan perang ekstrem terhadap narkotika dan kejahatan yang menewaskan 3.000 orang. Tindakannya itu mengundang kritik dari AS dan PBB.
Filipina menyanggah setiap tuduhan yang menyebutkan mereka melanggar HAM dan hukum yang berlaku. Pemerintah Duterte menegaskan tidak butuh diceramahi oleh AS.
Serangkaian pernyataan keras dan penghinaan pribadi dari Duterte pun ditujukan kepada Presiden Barack Obama. Eks Wali kota Davao itu seolah ingin menegaskan akhir kemesraan negaranya dengan AS dan memulai babak baru dengan Tiongkok.
"China tidak seperti AS, mereka menghormati urusan internal Filipina. Masalah (China-AS) datang setelah AS mulai mengajarinya (Duterte). Sementara presiden kami menganggap itu masalah internal. Dan China tidak mengomentari urusan dalam negeri," jelas sang dubes.
Pada bulan November, Duterte membatalkan pembelian lebih dari 26.000 senjata dari AS setelah Negeri Paman Sam menangguhkan penjualan karena dugaan pelanggaran HAM. Orang nomor satu di Filipina itu pun mengancam akan membatalkan penandatanganan pakta 1998 antara AS-Filipina jika AS tidak memperpanjang paket bantuan skala besar.
Pakta 1998 memungkinkan pasukan AS melakukan latihan bersama di Filipina. Di masa lalu, Negeri Paman Sam memiliki pangkalan militer permanen di Filipina, namun yang terakhir ditutup sekitar 25 tahun silam.
Dan sejak tahun 2012, AS telah mengirimkan 600 pasukan militernya ke Filipina untuk melatih pasukan negara itu. Namun jumlah militer AS kian berkurang dari tahun ke tahun.
Di lain sisi, China datang menawarkan bantuan senjata senilai US$ 14 juta ke Filipina. Tak hanya itu, Beijing juga menyuguhkan pinjaman jangka panjang sebesar US$ 500 juta bagi peralatan buatan China lainnya seperti jenis senjata kecil dan perahu motor.
Terlepas dari kerjasama militer, Filipina dinilai serius melihat peluang eksplorasi sumber daya alam dengan Tiongkok di Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara.
"Tantangan dasar di sini adalah bagaimana melakukannya, apakah itu dengan perusahaan AS atau perusahaan Inggris atau bahkan perusahaan China sehingga kita dapat memiliki usaha patungan atau pengembangan bersama. Apa pun namanya, tapi yang pasti itu sesuai dengan konstitusi kami," jelas Romana.
"Masalahnya, ini sangat mendesak bagi Filipina dibanding China karena cadangan gas mungkin akan habis dalam kurun 10 tahun mendatang. Jadi kami harus menemukan cara untuk menanganinya," imbuhnya.
Presiden Duterte pekan lalu mengatakan, ia terbuka terkait gagasan melakukan eksplorasi minyak patungan dengan China. Namun ia menegaskan akan mendiskusikan keputusan pengadilan arbitrase dengan Beijing.
Pada Juli, pengadilan membatalkan klaim China atas wilayah yang disengketakan. Tiongkok ditegaskan "tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut hak sejarah."