Reformasi Total Sistem Perpajakan

Terbongkarnya kasus mafia pajak menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Salah satu reaksi yang ditimbulkan dari terbongkarnya kasus mafia pajak adalah gerakan menolak membayar pajak yang digalang di situs jejaring sosial facebook.

oleh Liputan6 diperbarui 01 Apr 2010, 15:55 WIB
Darussalam

Terbongkarnya kasus mafia pajak menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Salah satu reaksi yang ditimbulkan dari terbongkarnya kasus mafia pajak adalah gerakan untuk menolak membayar pajak yang digalang di situs jejaring sosial facebook. Gerakan ini dapat dimaknai sebagai suatu bentuk protes dari para pembayar pajak atas penyalahgunaan uang pajak.

Protes atas penggunaan uang pajak yang tidak tepat merupakan hal yang lumrah terjadi, terutama di Amerika Serikat. Sebagai contoh, bagaimana seorang Presiden Obama sampai dibuat marah dan harus turun tangan secara langsung untuk meredam aksi protes masyarakat Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena dana talangan yang berasal dari pajak yang diberikan kepada salah satu perusahaan untuk mengatasi krisis ekonomi ternyata oleh perusahaan tersebut dibagi-bagikan sebagai bonus kepada para eksekutifnya.

Dengan demikian, adanya gerakan penolakan membayar pajak ini sebaiknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan yang meliputi bidang kebijakan dan hukum perpajakan, administrasi pajak, penyelesaian sengketa pajak, dan asosiasi konsultan pajak. Hal ini perlu segera dilakukan kalau tidak ingin gerakan penolakan untuk membayar pajak semakin membesar dan semakin liar yang ujung-ujungnya dapat mengganggu target penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung APBN negara kita.

Pertama, reformasi di bidang kebijakan dan hukum perpajakan. Dalam melakukan reformasi sistem perpajakan, penting untuk melihat kembali makna Pasal 23A UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Artinya, tidak ada pajak yang dapat dipungut tanpa adanya persetujuan dari rakyat (melalui wakil rakyat yang ada di DPR).

Kenyataannya, dalam undang-undang perpajakan, kebanyakan isinya pasal-pasal pendelegasian yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut masalah pengenaan pajak, termasuk objek dan tarif efektif pajak. Padahal, di banyak negara, objek dan tarif pajak tidak dapat didelegasikan penetapannya kepada pemerintah.

Di Meksiko, misalnya, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan unsur-unsur (penghasilan dan biaya) untuk menghitung penghasilan kena pajak (tax base) dan tarif pajak (tax rate) harus diatur secara jelas dalam undang-undang perpajakan (Oscar Moliho, 2004:551). Atau, dengan kata lain, melalui proses persetujuan antara wakil rakyat (yang juga wakilnya wajib pajak) dengan negara yang diwakili pemerintah. Jadi, pengaturan tentang tax base dan tax rate tidak boleh didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang kedudukannya ada di bawah undang-undang yang dalam prosesnya tidak melalui persetujuan dari rakyat.

Ke depan, DPR seharusnya lebih selektif memberikan delegasi kepada pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak. Pendelegasian seharusnya disertai pengawasan yang ketat dari DPR atau tetap melibatkan wajib pajak melalui proses dengar pendapat terlebih dulu. Kalau ini dilakukan, setiap kebijakan pajak yang dikeluarkan oleh Pemerintah kecil kemungkinannya mendapat penolakan dari wajib pajak. Dengan sendirinya ini tentu akan memperkecil sengketa antara wajib pajak dan Ditjen Pajak.

Kedua, reformasi di bidang administrasi perpajakan. Model administrasi pajak yang dapat dikembangkan, seperti yang disarankan oleh Stuart Hamilton (2003:575) di bawah ini dapat dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia.  Klik tabel di sini.

Ketiga, reformasi di bidang penyelesaian sengketa pajak. Sama seperti di banyak negara, proses penyelesaian atas sengketa pajak (ketetapan pajak) diselesaikan melalui dua tahapan yaitu (i) penyelesaian di tingkat administrasi (dikenal dengan nama proses keberatan) dan (ii) penyelesaian di tingkat badan peradilan bila penyelesaian di tingkat administrasi tidak dicapai kesepakatan.

Di Indonesia, saat ini kecenderungan yang terjadi adalah penyelesaian sengketa pajak kebanyakan diselesaikan di tingkat pengadilan pajak. Hal ini dapat dilihat banyaknya kasus sengketa pajak yang menumpuk di Pengadilan Pajak yaitu sekitar 9.700 di awal 2010 ini yang sebagian besar dimenangkan wajib pajak.

Dengan menumpuknya perkara di tingkat Pengadilan Pajak dan banyaknya perkara yang dimenangkan oleh wajib pajak, pertanyaan yang layak diajukan adalah bagaimana proses penyelesaian sengketa pajak di tingkat administrasi atau keberatan apabila dikaitkan dengan bentuk pelayanan kepada wajib pajak? Sebagai bagian dari pelayanan kepada wajib pajak seharusnya penyelesaian sengketa pajak di tingkat keberatan harus benar-benar mempertimbangkan aspek keadilan, sesuai dengan fakta, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai atas perkara yang sama yang di tingkat Pengadilan Pajak yang selalu dimenangkan oleh wajib pajak tidak dijadikan acuan oleh Ditjen Pajak.

Di Jepang, apabila pengadilan banding memenangkan wajib pajak maka otoritas pajak akan menyesuaikan peraturan perundang-undangan perpajakannya untuk disesuaikan dengan putusan banding (Minoro Nazakato, 2004:83). Hal ini dilakukan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi wajib. Dengan demikian, terhadap kasus-kasus yang sama yang terjadi di kemudian hari tidak perlu lagi dibawa ke tingkat pengadilan. Tentunya ini akan mengurangi cost of compliance wajib pajak karena tidak perlu mengeluarkan biaya, waktu dan energi untuk membawa sengketa pajak ke tingkat pengadilan. Dengan pendekatan yang dilakukan di Jepang tersebut, jumlah kasus sengketa pajak yang dibawa di tingkat pengadilan sangat sedikit dan sebagian besar dimenangkan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa pajak di tingkat administrasi (eksekutif) cukup memuaskan wajib pajak.

Belanda juga melakukan hal yang sama dengan Jepang, yaitu apabila Mahkamah Agung Belanda memenangkan wajib pajak dan ketika otoritas pajak tidak setuju dengan putusan Mahkamah Agung maka akan mengajukan kasus yang sama kepada Mahkamah Agung. Tapi, bila Mahkamah Agung tetap memenangkan wajib pajak maka otoritas pajak akan mengubah ketentuan perpajakannya. (Kees van Raad, 2004:95).

Dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan meringankan compliance cost wajib pajak serta tranparansi putusan pengadilan pajak, di masa yang akan datang, setiap putusan pengadilan pajak hendaknya dapat diakses dengan mudah dengan cara online sehingga publik dapat mengawasi dan menilai putusan tersebut sehingga akan menutup peluang oknum untuk “bermain.” Keterbukaan putusan pengadilan pajak ini telah dilakukan di banyak negara seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Singapura.

Keempat, reformasi di bidang asosiasi konsultan pajak. Terkait kebijakan tentang kuasa wajib pajak dan profesi pajak, dalam ketentuan yang berlaku saat ini di Indonesia menimbulkan cost of compliance yang tinggi karena terdapat upaya untuk mengarahkan wajib pajak untuk menggunakan jasa konsultan pajak atau mewajibkan pegawai pajak dari wajib pajak untuk mengikuti sertifikasi yang diselenggarakan oleh suatu profesi konsultan pajak tertentu. Hal ini tentu akan menciptakan biaya adminstrasi perpajakan yang tinggi bagi wajib pajak. Tentu ini sangat bertentangan dengan tujuan perubahan UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu untuk meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara. Hal ini selaras dengan Duncan Bentley (2007:72) yang menyatakan bahwa meminimalkan cost of compliance wajib pajak akan berdampak kepada peningkatan penerimaan pajak.

****

Dalam rangka mengembalikan kepercayaan wajib pajak agar tetap patuh membayar pajak dan mengingat bahwa sekitar 70% APBN kita berasal dari penerimaan pajak, perlu segera dibentuk semacam satuan tugas (satgas) di bawah komando Presiden untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan Indonesia. Pembentukan satgas untuk reformasi pajak juga dilakukan oleh Presiden Obama yang dikenal dengan nama the Volcker task force.


Penulis adalah pengamat masalah pajak dan staf pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP Universitas Indonesia.


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya