Penghayat Kepercayaan: Kita Masih Dapat Diskriminasi

Keberadaan kaum penghayat yang tak diakomodasi dalam UU membuat permasalahan ini terus berulang.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 06 Jan 2017, 08:19 WIB
Asfinawati, Engkus Ruswana, Devisi Humas Mabers Polri, Awi, K.H Imam Aziz, Kord. Desk, KBB Komnas HAM, Jayadi Damanik, (dari kiri) berfoto bersama usai Bincang Perdamaian di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (5/1). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presidium Luhur Penghayat Kepercayaan, Engkus Ruswan mengatakan, toleransi antarumat beragama dan berkeyakinan di Indonesia dinilai belum berjalan baik. Sebab, diskriminasi terhadap keyakinan tertentu masih terjadi, khususnya pada penghayat kepercayaan.

Menurut dia, bangsa Indonesia sebetulnya sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, sikap toleran itu tercemar semenjak masuknya budaya lain yang tidak sesuai dengan budaya yang dianut Indonesia.

"Bangsa kita sebenarnya toleran. Setelah masuk budaya yang tidak sesuai dengan Indonesia jadi timbul intoleran," kata Engkus dalam diskusi bertajuk 'Bincang Perdamaian' di Gedung Balai Kartini, Jakarta, Kamis 5 Januari 2017.

Sikap intoleran itu memunculkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Menurut Engkus, kaum penghayat hingga kini masih mengalami diskriminasi itu, terutama dalam hal pendidikan.

"Masalah pendidikan itu dari zaman Indonesia merdeka sampai sekarang, agama harus ambil yang tidak sesuai agamanya," ujar dia.

Engkus mengaku, pihaknya telah berulang kali bertemu dengan pihak sekolah untuk menjelaskan permasalahan kaum penghayat ini. Mereka memberikan penjelasan soal adanya Permendikbud Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat.

Dia mengatakan, keberadaan kaum penghayat yang tak diakomodasi dalam UU membuat permasalahan ini terus berulang.

"Jadi ribet harus ada masalah dulu, dialog dulu baru diterima. Ini karena UU tidak mengakomodasi penghayat," ucap Engkus.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya