Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempercepat penyidikan kasus dugaan jual beli jabatan di Pemerintahan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penyidik KPK Jumat kemarin, 6 Januari 2017, memeriksa puluhan saksi terkait kasus yang menjerat Bupati Klaten Sri Hartini itu.
"Hari ini diagendakan pemeriksaan 36 saksi di Polres Klaten," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 6 Januari 2017.
Advertisement
Febri menjelaskan, puluhan saksi yang diperiksa di antaranya pejabat di Pemerintahan Kabupaten Klaten dari berbagai level, dan pihak swasta. Penyidik juga memeriksa beberapa staf kecamatan dan kepala sekolah SD di Klaten.
Menurut Febri, pemeriksaan ini dilakukan guna mendalami adanya keterkaitan pihak lain, dalam kasus dugaan suap jual beli jabatan bernilai miliaran rupiah tersebut.
"Ini kami dalami lebih lanjut terkait perkara yang ditangani," Febri menandaskan.
KPK sebelumnya juga telah memeriksa 40 saksi dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Pemkab Klaten. Pemeriksaan itu dilakukan secara maraton sejak 1 hingga 2 Januari 2017.
Bupati Klaten Sri Hartini ditangkap pada Jumat, 30 Desember 2016. Bupati Klaten periode 2016-2021 itu diduga menerima suap terkait mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten.
Kepala Seksi (Kasi) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten Suramlan juga dicokok, karena diduga menyuap Sri Hartini.
Tim Satuan Tugas KPK mengantongi alat bukti berupa uang senilai Rp 2 miliar dalam pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu, yang dimasukkan ke dalam dua kardus air kemasan. KPK juga mengamankan uang USD 5.700 dan SGD 2.035.
Sri Hartini yang merupakan kader PDIP itu ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, Suramlan dijerat sebagai pemberi suap. Dia disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.