Liputan6.com, Jakarta - Bupati Klaten Sri Hartini yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian membuka borok dinasti politik di Indonesia. Penangkapan Sri Hartini sekaligus menambah daftar pelaku dinasti politik yang terjerat korupsi.
Guna menyetop laju dinasti politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KPK medorong penanganan pendanaan dana partai politik. Salah satunya adalah pemerintah memberikan dana APBN untuk parpol agar bisa dilakukan audit.
Advertisement
"ICW dan KPK mendorong penanganan pendanaan parpol. Itu yang jadi sasaran utama, agar tidak ada lagi dinasti politik. Kalau selama ini dana yang masuk ke parpol (dari APBN) tidak hanya 1 persen, kita dorong supaya lebih besar," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/1/2017).
Sebelumnya, KPK menangkap Bupati Klaten Sri Hartini dan tujuh orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat 30 Desember 2016.
Dari operasi tangkap tangan di Klaten, KPK menyita uang dalam kardus sekitar Rp 2 miliar ditambah US$ 100 dan sejumlah dokumen. Penangkapan diduga berkaitan dengan pengisian jabatan di sejumlah posisi di Pemkab Klaten.
Sri Hartini merupakan Bupati Klaten periode 2016-2021 yang baru dilantik pada 17 Februari 2016. Politikus PDI Perjuangan itu berpasangan dengan Wakil Bupati Klaten terpilih Sri Mulyani.
Sebelum menjadi Bupati Klaten, Sri Hartini merupakan Wakil Bupati Klaten 2010-2015 dan berpasangan dengan Bupati Sunarna yang menjabat dua periode (2005-2015). Sunarna tidak lain adalah suami Sri Mulyani.
Sri Hartini adalah istri mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo periode 2000-2005. Haryanto pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp 4,7 miliar dan penggunaan dana APBD untuk perjalanan ke luar negeri. Kasus ini diberhentikan karena Haryanto meninggal dunia.