Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengakui, banyak jabatan "diperdagangkan" dalam kasus "jual beli" jabatan Pemkab Klaten. Masing-masing punya harga tersendiri, tergantung level jabatan.
"Ragam 'harga' jabatan tersebut berbeda, tergantung tinggi rendahnya jabatan dan strategisnya jabatan," ujar Febri saat dikonfirmasi Liputan6.com, Minggu 8 Januari 2016.
Advertisement
Febri menjelaskan, penyidik KPK telah mengantongi rincian tarif jabatan tersebut. Rincian itu berupa catatan yang ditemukan KPK saat OTT terhadap Sri bersama tujuh orang lainnya pada akhir Desember 2016.
"Kami telah memiliki data rinci tarif jabatan yang diduga ditransaksikan dalam kasus Klaten. Saat OTT dilakukan, didapatkan catatan keuangan tersebut, dan kemudian dikonfirmasi dengan kegiatan-kegiatan di tingkat penyidikan," Febri menandaskan.
Sementara itu, dari informasi dihimpun Liputan6.com, Minggu 8 Januari 2017, Sri Hartini diduga menjadi "otak" jual beli jabatan ini. Diduga, Sri tidak sendirian dalam dugaan suap jabatan ini.
Sebab, informasi itu menyebut, setiap aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Klaten diduga dipaksa untuk mengeluarkan uang, jika mau naik jabatan. Namun, ada pula ASN yang sengaja melakukan lobi-lobi demi promosi jabatan.
Masih dari informasi yang sama menyebutkan, "tarif" yang ditentukan untuk jabatan tertentu seperti kepala dinas berkisar Rp 30 juta sampai Rp 400 juta.
Dalam kasus jual beli jabatan di Pemkab Klaten, KPK sudah memeriksa puluhan saksi. Mulai dari kepala sekolah SD sampai pejabat tinggi di Pemkab Klaten.
KPK resmi menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini sebagai tersangka kasus dugaan suap jual-beli jabatan, dalam perotasian sejumlah jabatan di Pemkab Klaten.
Selain Sri, KPK juga menetapkan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten Suramlan sebagai tersangka.
Sri, bupati yang diusung PDIP ini diduga menerima suap sekitar Rp 2 miliar lebih dan US$ 5.700, serta 2.035 dolar Singapura dari para pihak yang 'memesan' jabatan tertentu.
Sebagai penerima suap, Sri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, Suramlan selaku terduga penyuap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.