Liputan6.com, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan satu-satunya partai politik yang punya sejarah unik. Punya cikal bakal dari partai politik yang sudah ada sejak Orde Lama, berubah nama di zaman Orde Baru dan berganti lagi di Era Reformasi. Namun demikian, ideologi yang diusung PDIP tak berubah hingga sekarang.
Semuanya berawal ketika Orde Baru yang mulai berkuasa menginginkan adanya penyederhanaan partai poltik (parpol) melalui proses penggabungan atau fusi dari parpol di masa Orde Lama. Proses fusi sendiri sebenarnya tak lain sebagai upaya Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya.
Advertisement
Gagasan fusi parpol untuk pertama kali dilontarkan pada 7 Januari 1970. Saat itu Presiden Soeharto memanggil sembilan pimpinan partai politik untuk berkonsultasi secara kolektif. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik.
Pertemuan kemudian berlanjut pada 27 Februari 1970, ketika Soeharto mengundang pimpinan lima partai politik, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), dan Murba.
Saat itu pula berkembang rumor yang sangat kuat tentang isu pembubaran parpol jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan parpol sampai batas waktu 11 Maret 1971.
Pada 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS M. Siregar, lima tokoh parpol kembali bertemu dan membicarakan mengenai pengelompokan partai. Pertemuan berlanjut pada 9 Maret 1970 dengan agenda pokok, yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama.
Akhirnya, tim perumus berhasil membuat pernyataan bersama yang ditandatangani ketua parpol masing-masing, yakni Hardi (PNI), M. Siregar (Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), Achmad Sukarmadidjaja (IPKI), dan Sukarni (Murba).
Pada 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja dan M. Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba), VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M. Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo).
5 Parpol Memilih PDI
Meski setuju untuk bergabung dalam satu partai, perjalanan untuk mewujudkan itu ternyata tak mudah. Sejumlah pertemuan yang dilakukan untuk membahas nama, sifat, pengorganisasian dan program berlangsung alot. Untuk nama, muncul tiga usulan, yaitu Partai Demokrasi Pancasila, Partai Demokrasi Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia.
Setelah melalui proses yang panjang, pada 10 Januari 1973 tepat pukul 24.00 WIB, dalam pertemuan di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, lima parpol sepakat melebur menjadi satu wadah parpol bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Deklarasi pendirian PDI ditandatangani wakil kelima partai, yaitu MH Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), A Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), Beng Mang Rey Say dan FX Wignyosumarsono (Partai Katolik), S. Murbantoko R.J. Pakan (Partai Murba) dan Achmad Sukarmadidjaja, dan Drs M. Sadri (IPKI).
Pertemuan pertama PDI usai fusi adalah musyawarah nasional yang digelar pada 20-24 September 1973 di Jakarta. Namun, tak ada hasil signifikan yang dicapai pada Munas ini. Bahkan, keinginan untuk menggelar Kongres PDI yang pertama tak kunjung terlaksana dan terus tertunda akibat konflik internal.
Akhirnya, Kongres PDI bisa digelar pada 12-13 April 1976. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat. Pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I pun disempurnakan atas kesepakatan antara MH Isnaeni dan Sunawar.
Kongres II PDIP dilaksanakan pada 13-17 Januari 1981 di Jakarta, di tengah penolakan dari Kelompok Empat (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Raib). Campur tangan pemerintah juga semakin kuat pada Kongres II yang dibuka Presiden Soeharto ini.
Advertisement
Konflik dan Intervensi Pemerintah
Usai Kongres II PDI, konflik internal masih terjadi antara Hardjanto dengan Sunawar. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah Pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu.
Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu, yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia.
Kongres ini semakin menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani, dan Menteri Sekretaris Kabinet Moerdiono.
Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan pada 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara, dengan peserta sekitar 800 orang.
Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon ketua umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.
Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketua umum yang didukung penuh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.
Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang aparat kepolisian.
Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres.
Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI Jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI.
Peristiwa 27 Juli
Setelah gagalnya Kongres IV PDI di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung warga PDI untuk tampil menjadi ketua umum karena dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Muncul kekhawatiran pemerintah dengan fenomena tersebut.
Untuk mengadang laju Megawati, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993, muncul larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan digelar pada 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.
Namun, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi. Akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto. Akhirnya, dalam Musyawarah Nasional (Munas) 22-23 Desember 1993 di Jakarta, secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh pemerintah, tetapi kegiatannya tidak pernah dilarang.
Di samping itu kelompok Soerjadi sangat gencar mencari dukungan ke daerah-daerah dengan tujuan mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres.
Meski ditentang, Kelompok Fatimah Achmad yang didukung pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan kendaraan panser.
Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati berunjuk rasa besar-besaran pada 20 Juni 1996 yang berakhir bentrok dengan aparat dan dikenal dengan Peristiwa Gambir Berdarah.
Meskipun masa pendukung Megawati menolak keras Kongres Medan, pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu 1997.
Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal PDI. Hal ini membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.
Masa pendukung Megawati menggelar Mimbar Demokrasi di halaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga 27 Juli 1996. Hari itu, kantor DPP PDI diserbu ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa 27 Juli yang banyak menelan korban jiwa.
Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurus tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan di bawah pantauan pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui pesan hariannya menyatakan bahwa PDI di bawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI.
Pemilu 1997 diikuti oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukkan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena suara PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.
Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI Megawati. Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI di bawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca-lengsernya Soeharto, dukungan terhadap kepemimpinan Megawati semakin kuat.
Advertisement
Lahirnya PDI Perjuangan
Pada 8-10 Oktober 1998, PDI Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI di Denpasar, Bali. Dalam Kongres ini, Megawati terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun pemerintahan sudah berganti, yang diakui Pemerintah masih tetap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea.
Agar dapat mengikuti Pemilu 1999, Megawati kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal. Nama ini kemudian dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta.
Pemilu 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan dengan tampil sebagai pemenang pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Bahkan, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4.
Untuk pertama kalinya setelah berganti nama menjadi PDI Perjuangan, pengurus memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai 2003.
Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada 27 Maret-1 April 2000 di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah. Kongres ini menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan, karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.
Sayang, meski tampil sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan tidak mampu meraih kemenangan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.
Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada 28-31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar, Bali, tempat di mana Kongres V PDI diselenggarakan pada 1998.
Menjelang Kongres, sudah banyak muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Antara lain Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.
Kongres II PDI Perjuangan akhirnya mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan nama putri Proklamator RI itu.
Sejak itu, kendali PDI Perjuangan tak pernah lepas dari Megawati. Terakhir pada Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 8-12 April 2015, Megawati kembali dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan periode 2015-2020.