Liputan6.com, Casablanca - Menurut laporan sejumlah media lokal, Maroko telah melarang produksi dan penjualan burka atau burqa yang sepenuhnya menutup muka. Hal itu diduga berkaitan dengan masalah keamanan.
Walaupun belum ada pengumuman resmi oleh pihak berwenang di negara Afrika Utara itu, sejumlah laporan mengatakan bahwa perintah Kementerian Dalam Negeri akan mulai berlaku minggu ini, demikian dikutip Liputan6.com dari Al Jazeera, Rabu (11/1/2017).
Baca Juga
Advertisement
Situs berita Le360, Selasa lalu, mengutip pernyataan seorang petinggi Kementerian Dalam Negeri. "Kami telah mengambil langkah untuk sepenuhnya melarang impor, pembuatan, maupun pemasaran garmen ini di seluruh kota dalam kerajaan," kata dia.
Disebutkan bahwa tindakan itu didasarkan kepada kekhawatiran terkait keamanan. "Karena para bandit telah berulang kali menggunakan busana ini untuk melakukan kejahatan-kejahatan mereka," ia menambahkan.
Kebanyakan kaum wanita di negeri di bawah Raja Mohammed VI yang moderat itu lebih menyukai pemakaian hijab yang tidak menutupi seluruh wajah.
Nikab, yang hanya menyisakan bukaan di sekitar mata, lazim dipakai kaum wanita di daerah-daerah yang lebih konservatif di utara. Ribuan warga dari wilayah itu juga telah berangkat berperang di Suriah dan Irak.
Di beberapa distrik komersial Casablanca, ibu kota perekonomian negeri tersebut, para pejabat Kementerian Dalam Negeri pada Senin lalu melakukan "kampanye kesadaran" kepada para pedagang tentang keputusan baru itu, demikian menurut situs Media 24.
Di Troudant, selatan Maroko, pihak berwenang telah memerintahkan para pedagang untuk berhenti membuat dan menjual burka serta memusnahkan persediaan mereka dalam waktu 48 jam.
Para pedagang eceran di Ouislane di utara juga telah menerima perintah serupa.
Silang Pendapat
Sejumlah pihak memberikan reaksi terhadap larangan tersebut dan menganggapnya dapat meluas kepada pelarangan niqab.
Menurut seorang imam Salafi bernama Hassan Kettani melalui laman Facebook miliknya, "Apakah Maroko akan melarang niqab yang telah dipakai kaum wanita Maroko selama 5 abad? Jika demikian, itu sungguh bencana."
Hammad Kabbaj, seorang ulama yang dilarang ikut serta dalam pemilu parlemen pada Oktober karena dicurigai memiliki kaitan dengan ekstremisme, menganggap larangan itu "tidak dapat diterima".
Melalui komentar-komentar di Facebook, ia mempertanyakan kebebasan dan hak asasi manusia di Maroko yang menganggap penggunaan pakaian renang ala Barat di pantai-pantai sebagai hak yang tak boleh diusik.
Namun demikian, Nouzha Skalli, mantan menteri pembangunan keluarga dan sosial, menyambut larangan itu sebagai "langkah penting memerangi ekstremisme."
Sementara itu, Majelis Tinggi Ulama negeri itu belum memberikan komentar.
Advertisement