Perjuangan Nelayan Pemburu Bungkak Bertahan Hidup

Banyak nelayan di Taman Nasional Brebak Sembilang putus sekolah gara-gara memilih bekerja.

oleh Nefri Inge diperbarui 14 Jan 2017, 10:06 WIB
Para nelayan sedang memperbaiki gulungan jaring yang menggumpal. Agar bisa menggunakan jaring, para nelayan perlahan-lahan memperbaiki jaringnya

Liputan6.com, Palembang - Rabu pagi, 11 Januari 2017, rintik hujan turun di atas Dusun Sungai Sembilang, Desa Sungsang IV, di Kawasan Taman Nasional Brebak Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara itu, para nelayan bergelut di atas kapal yang disandarkan di pinggir dermaga, mengurai gumpalan jaring ikan seusai melaut.

Ada lima hingga enam kapal yang mengapung di pinggiran dermaga dengan aktivitasnya masing-masing. Hilir mudik para warga dusun di jembatan kayu dermaga menambah riuh hari-hari para nelayan.

Peserta Pelatihan Jurnalistik Untuk Awak Media di Sumsel bersama panitia Zoological Society of London (ZSL) yang mengunjungi Dusun Sungai Sembilang langsung disambut ramah para warga.

Keramahan warga terlihat saat awak Liputan6.com mengajak berbincang-bincang beberapa warga di pinggiran dermaga, salah satunya adalah Febi. Sembari duduk di pinggir jembatan kayu dermaga, remaja 16 tahun itu menceritakan kesehariannya secara detail.

Febi ternyata merupakan salah satu nelayan yang mengais rezeki dari limpahan sumber daya alam (SDA) di bentangan anak Sungai Musi. Meskipun harus meninggalkan bangku pendidikan di kelas IV Sekolah Dasar (SD), Febi tetap optimistis menatap masa depannya.

"Sudah tak semangat untuk sekolah, lebih baik jadi nelayan. Walau ibu masih menyuruh saya melanjutkan sekolah, tapi saya lebih suka melaut bersama abang saya. Upah yang didapat lumayan untuk kebutuhan hari-hari dan membantu orangtua," celoteh Febi.

Setiap pukul 05.00 WIB, Febi menemani kakaknya Joni (30), berburu bungkak, sebutan lain ikan Tapal Kuda. Jenis ikan ini menjadi salah satu jenis hewan laut bercangkang keras yang menjadi prioritas perburuan para nelayan.

Mereka akan pulang melaut pada pukul 17.00 WIB dan langsung mengumpulkan hasil tangkapannya. Namun pagi itu, Febi absen dari aktivitasnya karena kesehatannya yang kurang mendukung.

Dalam sehari, Febi biasanya mendapatkan upah sebesar Rp 20.000 hingga Rp 100.000 dari hasil melaut. Namun upah hariannya tergantung dari seberapa banyak bungkak yang didapatkan.

Jika mereka berhasil menjaring bungkak bertelur, upah yang didapatkannya pun bisa berkali lipat. Jika bungkak yang tertangkap tidak bertelur, mereka terpaksa melemparnya kembali ke laut karena tidak akan laku terjual.

Meskipun sudah tujuh tahun ikut sang kakak melaut, hingga sekarang Febi tidak tahu hasil tangkapannya diperuntukkan buat apa. Febi hanya tahu harga satu ekor bungkak sebesar Rp 15.000 bisa membuat dompetnya terisi.

"Kami hanya menjual bungkak ke pengepul. Untuk apa dan dibawa kemana hasil tangkapan tersebut, kami tidak tahu dan tidak pernah bertanya. Yang kami tahu adalah bungkak bertelur bisa menghasilkan uang," ungkap anak ketiga dari lima bersaudara itu.


Tidak Ada Sekolah

Dua orang siswa SDN 17 Sembilang sedang berjalan menuju sekolah. Di dusun ini, hanya ada fasilitas Sekolah Dasar (SD) saja.

Bergelut di lautan juga menjadi pilihan anak-anak Isnamini. Menginjak usia 56 Tahun, Isnamini ditemani anak keempatnya, Andi (22), berburu bungkak di lautan. Karena tidak ada yang membantunya, Andi terpaksa harus berhenti sekolah dan membantu ayahnya melaut setiap harinya.

"Semua anak saya berhenti sekolah semua, merekalah yang membantu saya melaut. Tapi sekarang, cuma Andi yang ikut nelayan. Karena yang lain sudah menikah dan ada yang masih kecil, belum bisa diajak melaut," ungkap ayah enam anak ini sambil memperbaiki jaring ikannya di atas kapal.

Sebenarnya, Isnamini ingin anak-anaknya bersekolah tinggi. Namun karena keadaan dan kondisi keuangan yang pas-pasan, anak-anaknya terpaksa hanya menyicip bangku sekolah di tingkat Sekolah Dasar (SD) saja, bahkan tidak ada yang sampai tamat SD. Kondisi diperparah dengan tidak adanya fasilitas Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kawasannya.

Dalam sehari, Isnamini bisa mendapatkan Rp 100.000 hingga Rp 400.000 dari hasil melaut. Sebagian uangnya disisihkan untuk biaya operasional kapal, sebagian lagi dibagi ke anak dan istrinya.

Karena kondisi kapal yang dibelinya ini kurang bagus, Isnamini sering merogoh kocek lebih untuk memperbaiki kapalnya. Selain itu, koseknya terkuras untuk membeli solar. Untuk jarak dekat, kapalnya memerlukan 1 liter, sedangkan jarak jauh setidaknya 10 liter harus disiapkan.

"Kapal ini mungkin usianya sudah 14 tahun, baru empat tahun terakhir saya gunakan. Jadi kondisinya tak terlalu bagus, jadi butuh banyak perbaikan," kata warga asli Kampung 2, Sungsang, Kabupaten Banyuasin ini.

Dominasi warga Dusun Sungai Sembilang yang menjadi nelayan juga diaminkan oleh Yunan Alwi, Kepala Dusun Sungai Sembilang, Desa Sungsang VI, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumsel.

"Sebanyak 472 kepala keluarga (KK) dengan jumlah warga sekitar 1.340 jiwa memilih menjadi nelayan dibandingkan menggeluti profesi lain, karena potensi SDA di sini menguntungkan," ujar dia saat disambangi di kediamannya.

Ditambahkan Hari Priyadi, Public Sector Manager Zoological Society of London (ZSL) Kelola Sendang, ke depan pihaknya akan merancang kegiatan pelatihan bagi masyarakat, terutama yang putus sekolah untuk lebih mengenalkan tentang proses penangkapan ikan yang benar.

"Dari hewan air yang ditangkap para nelayan, ada beberapa jenis yang dilarang ditangkap, di antaranya bungkak dan penyu. Kita akan memberikan sosialisasi tentang apa saja hewan laut dan alat penangkapan yang dilarang," ujar dia.

Pihaknya berharap ke depan bisa memberikan pemahaman tentang penangkapan hewan laut yang benar sehingga tidak merusak ekosistem laut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya